Kamis, 14 Februari 2008

Sang Rembulan

Sang Rembulan


Aku benar-benar tak percaya. Aku benar-benar kaget. Hatiku nyilu, perih, bak habis diiris-iris sembilu. Kepalaku pecah bak habis dihantam besi panas. Badanku hangus bak habis disambar halilintar. Aku benar-benar tak menyangka. Aku benar-benar tak yakin akan hal ini. Aku merasa ini hanya mimpi. Tapi, aku bukan bermimpi. Barusan aku mendengar sendiri, dan aku sangat sadar, apa yang barusan aku dengar. Rasa-rasa ini hanya di flm saja, yang biasa dulu kutonton. Tapi ini nyata. Ini bukan dalam film.
Ingin rasanya kumenangis. Ingin rasanya aku berteriak, mejerit-jerit. Tapi itu hanya akan sia-sia. Tak akan bisa merubah segalanya. Semuanya telah terjadi. Semuanya telah terlambat. Aku terlambat.
Andai beberepa minggu yang lalu, tentu semuanya takkan seperti ini. Minimal aku bisa memberi pertimbangan apa yang akan diputuskan. Dia itu masih lugu. Sedih sekali aku membayangkan. Aku benar-benar kecewa. Aku benar-benar iba kepadanya. Jika itu jadi ia lakukan. Jika keputusan itu jadi ia laksanakan. Sudah pasti cita-citanya akan hancur.
Belum saatnya bagi dia. Masa depannya masih panjang, Sepanjang jalanan yang tak berujung. Masa depannya masih cerah, secerah mentari pagi. Masa depannya masih luas, seluas samudra sana.
Baru kemaren ia melepas seragam putih merah, baru kemaren ia melepas seragam putih biru, dan hanya baru beberapa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tapi, sekarang ia ingin melaksanakan hal yang belum saatnya bagi dia.

" Ibu sudah coba menasehati dan memberi pertimbangan. 'Apakah kamu nanti tidak menyesal dengan keputusan ini." Masih terngiang kata ibu ditelingaku.
" Dia sudah tidak mau lagi sekolah, Ayah dan Ibu sudah berusaha membujuk agar tetap sekolah. Tapi, yah… Ayah-Ibu tidak bisa memaksa, percuma kalau dipaksa. Malah akan membuat dia semakin liar."

Yang lebih membuat hatiku perih adalah ketika kutanyakan sendiri padanya. Kenapa kamu tidak mau sekolah?. Jantungku seketika ingin berhenti berdetak, seakan-akan meledak. Mendengar jawaban yang sangat memilukan.
" Aku tak ingin menambah beban Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu sekarang lagi susah, lagi banyak hutang. Sedangkan kita yang bersekolah bertiga, biarlah aku saja yang mengalah. Biarlah kakak dan adek saja yang sekolah, aku rela."

Aku tak menyangka adekku yang lugu, yang baru kemaren beranjak dari bangku SMP punya pemikiran yang demikian. Pemikiran yang membuat hatiku pilu. Ingin rasanya aku tumpahkan buliran-buliran bening yang sedari tadi menggumpal. Tapi tak bisa. Buliran itu tak mau keluar.
" Cara itu tidaklah akan menyelesaikan masalah. Justru akan menambah masalah. Menambah beban ayah dan ibu. Menambah baban pemikiran mereka. Mereka tentu sedih. Mereka tentu sangat kecewa. Harapan orang tua yang ingin anaknya menjadi orang yang berguna, berilmu, dan berbakti. Tentu akan sirna. Kalau kamu memang ingin membantu Ayah dan Ibu. Seharusnya kamu bisa membantu mereka denga rajin belajar. Dengan prestasi. Itu akan meringankan beban meraka. Minimal beban pemikiran. Bukan dengan cara ini."
Aku mencoba menasehati dengan hati. Aku tau, itu semua hanya sia-sia, karena semuanya telah terlambat. Tetapi aku mengatakan demikian, karena aku tidak ingin itu dijadikan sebagai alasan untuk ia berhenti sekolah. Karena itu sangat tidak masuk akal sekali.
Padahal kalau dia mau berpikir lebih dewasa lagi. Ia tentu akan berpikir. Ayah dan ibu banyak hutang, itu semua untuk sekolah saya. Saya harus rajin belajar. Demikian hendaknya dia berpikir. Bukannya malah berhenti sekolah. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya. Sebenarnya apa sih yang ada dalam pkirannya. Padahal ayah ibu sendiri mengatakan,

" Selagi anak mau disekolahkan. Ayah dan Ibu akan terus menyekolahkan. Sampai cita-citanya tercapai. Tentunya dengan batas kemampuan. Tapi, Insya Allah Ayah-Ibu akan selalu berusaha sekuat tenaga."
Aku membuktikan sendiri perkataan beliau, yaitu dengan berlabuhnya aku di negri seribu menara ini, tanpa kekurangan apapun. Walau dengan banyak hutang disana-sini, karena tidak ada sesuatu yang bisa dijual, hanya sertifikat tanah yang digadaikan ke Bank, dan aku tahu hal itu. Makanya aku tidak ingin mengecewakan mereka. Walaupun sebagai manusia, aku kadang-kadang juga merasakan malas. Tapi, cepat-cepat kutepis, tidak kubiarkan dia berlarut-larut.

Aku jadi curiga padanya. Pasti ada sesuatu yang membuat dia malas sekolah. Ternyata kecurigaanku itu terbukti. Ketika aku menghubungi ibu. Ibu yang memberi tahukan. sesuatu itu adalah laranganku yang dilanggar. Larangan yang dari dulu aku wanti-wanti agar jangan pernah melakukan. Akibatnya terjangkit virus tersebut dan malas sekolah.

" Jangan pernah pacaran, karna pacaran itu banyak sekali mudharatnya. Untungnya tidak ada. Malah membuat kita nista. Dengan dosa yang selalu dilakukan. Dan yang pasti didalam islam istilah pacaran itu tidak ada dikenal. Yang dikenal hanya istiah khitbah atau pinangan."
Nasehatku padanya setiap kali aku menelpon kekampung. Tapi, laranganku itu dilanggar akibatnya, yah seperti sekarang ini, dia malas sekolah, dan yang lebih mengecewakan, malahan ingin menikah pula. Padahal umurnya baru dini sekali, SMA pun belum rampung. Belum lagi saatnya untuk menikah. Masa depannya masih cerah. Jalan hidupmu masih panjang. Tapi, yah. Semuanya telah terlambat, semuanya telah terjadi. Adekku telah dipinang orang.

Andai aku tau sebelum pinangan itu, tentu semuanya bisa tidak akan terjadi, minimal aku bisa memberi pertimbangan atau masukan. Kalau yang menjadi permasalahan, sekolah. Mungkin aku bisa mengubah pendirian atau memotivasinya untuk terus sekolah. Tapi, ini yang menjadi permasalahan adalah pinangan. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

" Apakah pinangan itu bisa dibatalkan."
Tanyaku suatu ketika pada ibu. Hatiku mengembun, tatkala mendengar jawaban yang beliau berikan.

" Pinangan itu tidak bisa dibatalkan nak, karna sudah menjadi perjanjian, dan sudah menjadi adat kita, bahwa tidak bisa dibatalkan. Dan kalau seandainyapun dipaksa dibatalkan, akan berdampak buruk kepada keluarga kita. Terutama kepada adekmu. Dan pandangan orang pun akan lain kepada kita." Jawab beliau.
Aku membenarkan kata ibu, seandainya itu dibatalakan tentu akan menimbulkan masalah baru. Pihak laki-laki yang diputuskan tentu akan kecewa, tidak merasa senang dan sakit hati. Karna telah diterima tiba-tiba diputuskan begitu saja.

" Begitulah nak keadaan kampung kita, pengaruh lingkungan yang sangat deras, sederas badai dilautan. Menghantam dan menerjang. Ini dikarenakan kurangnya didikan dari orang tua. Kamu tau sendiri kampung kitakan?! Yang ada dibenak mereka itu, bagaimana mendapatkan uang. Sedangkan pendidikan anak tidak terlalu diperhatikan. Kalaupun anaknya disekolahkan, mereka cenderung memasukkannya kesekolah umum dari pada sekolah agama. Dengan dalih setelah sekolah dapat langsung kerja, sedangkan sekolah agama tidak. Ayah dan Ibu sebenarnya ingin menyekolahkan adekmu keluar kota, tempat kamu sekolah dulu. Tapi, ibu tak mau kejadian yang menimpa Santi, terjadi menimpa Ani, adekmu. Dia kawin lari dengan pacarnya. Ibu khawatir itu akan terjadi. Karna itu, biarlah ia sekolah dikampung.
Sering sekali laki-laki itu datang kerumah menemuinya. Karna ibu takut terjadi yang bukan-bukan. Akhirnya, ibu buat perhitungan dengan orang tuanya. Kami sepakat untuk menikahkannya. Sebelum benang-benang cinta mereka merajut lebih jauh. Dan, dia juga ( yang laki-laki ) sudah pandai mencari nafkah. Biaya sekolah waktu SMA dulu saja, dia yang mencari sendiri." Ibu menerangkan padaku dengan sangat hati-hati. Sebenarnya ini adalah berita gembira. Berita bahagia. Bagi siapapun yang merasakan. Tapi yang menjadi permasalahan dia itumasih kecil, masih belum saatnya. Tapi, apa boleh buat, semuanya telah terlanjur terjadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

" Semuanya telah terjadi. Zaky tidak bisa berbuat apa-apa. Zaky hanya bisa berdo'a, semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untuknya." Walau hatiku agak sedikit tergores, aku berusaha mengikhlaskan dan menyetujui.

" Iya, sekarang kita hanya bisa berdo'a, agar ini jalan yang terbaik bagi dia dan kita semua. Dan juga, ibu berpesan agar hal ini tidak menjadi beban pikiran dan mengganggu belajarmu. Mungkin ini sudah suratan. Kita terima saja. Semoga inilah yang terbaik. Dan sekarang ibu hanya menaruh harapan padamu. Agar rajin-rajin belajar. Dan juga jangan lupa, sering-seringlah menghubungi Miftah, motifasi dia terus agar selalu rajin belajar. Dan ibu lihat dia sangat serius untuk sekolah dan ingin agar bisa berkuliah ditempatmu sekarang. Ibu pernah mencandai dia, 'Berhenti saja Itah sekolah, nikah aja kayak uni Ani.
Apa jawab dia, 'sorry layau. Itah masih mau sekolah, kayak uda Zaky.' Teruslah kamu beri dia semangat. Agar bisa menyusulmu kuliah di Mesir"

Malam kelam terus merayap pergi, meninggalkan sang rembulan malam. Senyumannya mulai memudar ditutup awan hitam. Desauan angin membahana, mengelus-elus wajahku yang kusut. Kutermangu bisu, sambil terus berdo'a. semoga inilah yang terbaik bagi semua.


Zagazig, 13 Oktober 2007
Sabtu, 23.30 WZ. Dikesunyian malam


Udo Iwan

Tidak ada komentar: