Kamis, 03 April 2008

Kamis, 14 Februari 2008

Si Buyuang (Sang Pemberani)

SI BUYUANG

( Sang Pemberani )

____________­_________________________________

“Akhi buyuang bagaimana pendapat antum tentang acara kita ini,” pimpinan rapat meminta pendapat pada Buyuang.

“ Wah, saya sangat setuju sekali! karna acara ini dapat mempererat ukhuwah islamiyah, dimana kita akan saling mengenal satu sama lain”. Jawab buyuang singkat.

“Oke…kalau begitu! bagaimana teman-teman,…setuju…?”

“setuju…”jawab mereka serentak.

Waktu yang dinanti-nantikan tiba, tamu-tamu sudah berdatangan dari berbagai sekolah; baik sekolah umum maupun agama, baik swasta maupun negri, termasuk SMA nggak ketinggalan.

Waktu trus berputar bagitu cepat, tanpa terasa MAN Dua Padang telah banjir penonton dan peserta, dengan tema “menyambung benang yang telah putus, ”sebagai wujud dari hasil rapat beberapa minggu lalu.

Berapa menit kemudian acara dimulai, Kontestan demi kontestan beralu, dengan tampilan begitu indah.

Kini tibalah giliran tuan rumah ‘Shautul Daud’ untuk menunjukkan kebolehannya, walaupun sering menggondol piala disetiap vestival, kali ini lawan tak bisa dianggap remeh, rata-rata punya ciri khas tersendiri.

Apalagi tim nasyid ‘KhairulUmmah’ kepunyaan Pondok Pesantren Hamka, dengan fokal membara, nyanyikan lagu ShatulHarakah ‘Merah Saga’ nyaring, syahdu penuh cinta.

SMA tiga tak kalah saing ‘Ashabulkahfi’ melantunkankan penuh hayatan, lagunya raihan, peristiwa shubuh.

Angin berdesir menyapu dedaunan kering yang terhampar dibelakang Aula, rerumputan menari-nari mengikuti jalannya acara.

Sayup-sayup terdengar alunan music mengiringi suara angin yang berhembus,

“de…mi… masa,”

“plok…plok…plok…plok” spontan guruhan tepuk tangan terdengar disetiap sudut ruangan. Suasana begitu pikuk, ketika sang penyair mulai melantunkan sajak-sajaknya.

Beberap detik kemudian suasana kembali hening, tak terdengar kehirukan, yang ada hanya sang perirama;

“ingat lima perkara

sebelum lima perkara

sehat sebelum sakit

muda sebelum tua

kaya ebelum miskin

lapang sebelum sempit

hi…dup sebe…lum mati…”

Begitu indah, membuat mata terpana, tak berkedip, bagai hipnotis mengguna. Darah-darah terkesiap, mengalir kencang kesekujur tubuh, bulu-bulu remang berdiri, menghayati makna yang terkandung didalamnya. Sungguh luar biasa…, membuat setiap pendengar terlena, menyadari akan kelalaian selama ini.

Rupanya tak semua orang menikmati jalannya acara. Dibagian sudut belakang empat pemuda dengan belati disalah satu tangan antara mereka, sedang mengompas penonton.

” uangnya seribu, ” hardik salah seorang, dengan nada mengancam. Sambil mengacungkan belati kelehernya. Tentu saja membuat ia terkejut?! bercampur takut.

Sebagian supporter lain yang tengah asyik mendengar lantunan syahdu menusuk kalbu,

kaget! Dan perhatian mereka terpecah, beralih kebelakang.

Buyuang yang sedari tadi duduk dibagian depan, yang juga khusuk mendengarkan setiap konstestan, konsentrasinya ikut terpecah, mendengar ribut-ribut dibelakang. Sementara konstentan trus berdendang menabuh genderang, bak akan perang.

“O, rupanya si Codet CS , yang terkenal bringas dan sering ngompas itu.” Gumam buyuang.

Tentu saja ia tidak bisa tinggal diam, selaku ketua keamanan ia yang paling bertaggung jawab atas masalah ini, belum lagi yang dikompas anak luar, betapa malunya ia dihadapan tamu-tamu, ingin rasanya menghajar mereka, percuma belajar tapak suci selama tiga tahun dipondok, kalau tidak bisa menghajar keroco-keroco ini, ditambah lagi Ari dan Rizki disamping yang siap membantu, yang juga seperguruan, tapi niatnya tersebut diurungkan, teringat akan nasihat amak :

”kekerasan tidak akan menyelesaikan permasalahan.”

dan juga hadits nabi yang selalu dilantunkan amak padanya;

“ bukanlah orang yang kuat itu orang yang paling cepat pukulannya ( paling hebat ), tapi orang yang kuat itu adalah orang yang selalu bisa mengendalikan nafsunya tatkala ia marah.”

Akhirnya ia segera menenangkan diri yang radak emosi.

“kita hajar aja yuang, biar tau rasa”. Ari memecah kebisuan.

“ Iya yung. ” Timpal Rizki, yang dari tadi geram.

“ tidak! jangan! Kita selesaikan masalah ini dengan damai dan kepala dingin, kalau tidak bisa, kita lapor Polisi. Kita telah diberi mandad oleh pak kepala sekolah minggu lalu, sebelum beliau berangkat ke Jakarta, jika terjadi apa-apa lakukan saja yang terbaik.” Kebetulan aku ada kenalan!

“ Bagaimana…? ” Tanya buyuang.

“kami setuju…” jawab mareka bersamaan.

Buyuang segera menghampiri mereka tanpa ada rasa takut sedikitpun, mengingat hadits nabi tadi dan hadits nabi;” barang siapa melihat kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya, kalau tidak sanggup dengan lisannya, kalau tidak sanggup dengan hatinya, yang demikian itu selemah-lemahnya iman.”

Para penonton tidak ada yang berani mendekat, takut…! Mana mereka penduduk setempat lagi.

“gimana kabarnya akhi…?” Buyuang coba bertanya pada sitopi merah, pakaian serba hitam yang memegang belati.

“ eh, emangnya lou siapa nanya-nanya kabar lagi, emangnya lou dokter ” jawab topi merah pedas.

“ ha…ha…” serentak tertawa mereka meletus.

Buyuang sempat emosi, tapi kemudian ia rendam, sambil istihgfar tiga kali.

“ Apakah tidak ada pekerjaan lain, yang lebih baik, halal dan berkah. Tidak baik tertawa diatas derita orang lain, kitakan tidak tahu dari mana uang orang yang kita mintai datangnya, siapa tahu dia orang susah, tidak punya apap-apa, lalu kita peras, apa tidak kasihan pada mereka, sudah susah tambah dibuat susah lagi.” sambung buyuang bijaksana.

“ eh, bangsat lou jangan sok-sok nasehatin kita-kita ya.” siCodet yang dari tadi diam, angkat bicara. Sambil mengacungkan telunjuknya kedagu buyuang, penuh amarah.

” kalau mau khutbah no dimasjid. ”sambungnya.

“ Lou belum tau kita ya, atau lou pengen rasakan belati ini.” Disambarnya belati dari tangan sitopi merah kemudian diacungkan keleher buyuang.

Ari dan Rizki yang sedari tadi berdiri dibelakang buyuang jadi naik pitam, apalagi si Ari! bener- bener merah padam rautnya, baru saja keduanya hendak mengayunkan bogem, buyuang membentangkan tangan, mencegah!.

“ jangan…! tahan emosi akhi keduanya,” kembali buyuang menenangkan sahabatnya.

“ Tapi mereka keterlaluan yuang ” jawab Ari tak bisa tahan, Ari yang memang terkenal sejak pesantren tempra mental itu tak tahan melihat yang demikian. Apalagi sampai menginjak-injak harga diri, pernah satu kali waktu dipesantren kaki sama bokongnya dicambuk oleh keamanan, sehingga tak kuat berjalan, lantaran berantem. Sehingga membuat anak yang dihajarnya tidak masuk beberapa hari karna kaki dan tangannya terkilir dipelintir. Masalahnya sih sepele! gara-gara waktu ari lagi kultum anak tesebut memotong pembicaraan dan nanya yang ari tidak bisa jawab. Tentu saja membuat ari hilang muka dihadapan ustadz dan teman-teman. Tapi, sejak berteman dengan buyuang ia mulai berubah, ia segan dan simpati pada buyuang, karna buyuang orangnya saleh, sabar, pintar, juara dan ta’at ibadah lagi!, itu yang ia salutkan dari sosok buyuang.

“o…, jadi kalian berani ya...” si Codet kembali angkat bicara.”

“ tidak, kami tidak berani pada kalian. Tapi tindakan kalian ini benar-benar tidak dibenarkan agama.” Jawab buyuang tenang.

“ah, jangan banyak bacot.” Darah codet keburu keubun-ubun.

“ bano, jahil, boco… hajar…!” perintah codet. Orang yang disegani diantara mereka.

‘Malang tak dapat raih untung tak dapat ditolak,’ perkelahian pun terjadi.

“buk…! gdubrak…” terdengar suara pukulan mengena dan suara pintu beradu.

“ aduh…” rintih mereka. Rupanya anak buah codet kena hantam Ari dan Rizki yang semenjak tadi meredam emosi.

“sreet…,” baju buyuang robek terkena sabetan belati. Untung sempat menghindar, jadi tidak luka.

Kali ini buyuang angkat tinju yang sudah bertahun-tahun tidak diasah. Ia mencoba melindungi dirinya karena diserang.

Sicodet kembali menyerang, ternyata tak berarti apa-apa, buyuang lebih lihai. Disambutnya tangan si Codet, diangkat diputar dan…?

“ krak…” bak kayu patah diterjang angin kencang, tangan codet berbunyi.

“ au…” codet berteriak kesakitan.

Kembali ia menyerang dengan tangan kiri, akibatnya sama, suara serupa kembali terdengar.

Kali ini codet tak berkutik. Kedua tangannya tak berdaya, termasuk ketiga temannya tak bisa berdiri. Benturan yang sangat keras menghantam kepala dan kedua kaki mereka.

Buyuang bukanlah tipe petarung berhati buas, menghajar lawan tak berdaya. Buyuang masih punya hati, begitu juga Ari dan Rizki yang terkenal tempra. Buyuang merasa kasihan pada mereka yang tengah merintih.

“ ma’afkan kami akhi, bukan maksud kami menyakiti antum semua, kami haya melindungi diri.” Buyuang duduk membuka suara, sembari mengabil tangan codet yang susah digerakkan.

Codet tak bergeming, diam membisu bercampur malu.

“krek…krek…,”terdengar bunyi tangan codet, buyuang menghentakkannya lumayan kencang, sehingga membuat codet kesakitan.

“ au…” raung codet.

“ ampun…” teriaknya.

Tak berapa lama, codet heran…? Rasa sakit yang menyerumuti tangannya hilang dan bisa digerakkan.

“hah…?tanganku bisa digerakkan.” Sambil memainkan siku dan jari.

“tangan akhi tidak apa-apa, hanya terkilir, dan insyaAllah beberapa menit lagi juga sembuh.” Buyuang coba meyakinkan!

Codet tersipu. Tak tahu apa yang harus ia lakukakan, bungkam diam seribu bahasa hanya itu yang bisa. Rasa penyesalan timbul, tapi tak sanggup merangkai kata.

Buyuang ngerti apa yang dirasakan codet.

“ Sudah jangan dipikirkan, anggap saja apa yang barusan terjadi, tidak pernah adanya!”

“ng…ng…ma…ma’fkan saya.” Walaupun terbata-bata, Codet angkat bicara, wajahnya tunduk tersipu, apalagi banyak pasang mata yang memperhatikan.

Buyuang hanya tersenyum bahagia. Melihat codet gembira kembali.

“ ah, tidak apa-apa, yang berlalu biarlah berlalu. Kami juga minta ma’af, karna membuat akhi jadi begini.”

“Sekarang ayo kita ke UKS,” buyuang berdiri sembari membantu Ari dan Rizki menuntun bano, jahil, dan boco yang puyeng.

“Teman-teman sekalian, silahkan acaranya dilanjutkan kembali!

Kami mohon ma’af yang sebesar-besarnya atas peristiwa barusan.” buyuang memberi ma’lumat kepada seluruh penonton dan peserta yang termangu kaku. Apa boleh buat! hanya itu yang bisa Buyuang ucapkan.

Penonton manggut-manggut. Tanda setuju.

” Emang luar biasa tuh sibuyuang; ‘sekali tepuk dua lalat langsung mati.’ Tadinya mau bela diri dong, eh, premannya jadi tobat, karna budi yang luhur. Buyuang…Buyuang! kamu memang sang pemberani.” komentar salah seorang penonton.

Tidak berapa lama, acara pun berakhir. Seperti yang ditaksir penonton ‘shautul daud’ sebagai pemenang. ‘ Ashhabul kahfi ’ kedua dan ‘ khairulumah ’ peringkat ketiga.

Diufuk barat, matahari perlahan tenggelam dimakan lautan, meninggalkan bias kemerahan diangkasa, kelalawar terbang bariringan kesarang. Azan magrib berkumandang, derap langkah mengguncang melaksanakan sembahyang, bertanda siangkan pulang dan malam menjelang.

_____________

Buyuang : panggilan untuk anak laki-laki di Minang

Amak : panggilan untuk ibu diminang

--------------------------------------------------------------------

Istana Impian

ISTANA IMPIAN

Raja siang kembali menguasai Zagagzig, sinarnya yang terik membuat rakyat Zagazig ciut, takut dan malas keluar rumah, termasuk Aku. Ubun-ubun rasa ditusuk besi berkarat. Wajah rasa diremas-remas. Baju bak habis dibilas, buliran peluh mengalir deras. Tak bisa dibayangkan panasnya hari ini. Tak bisa dibayangkan bila tak ada lapisan Ozon yang menyelimuti bumi. Bisa hancur bumi, bisa terbakar semuanya. Lautan akan kering, baja-baja akan meleleh, tanam-tanaman akan kerontang dan bumi akan jadi lautan api. Apalagi manusia, baru merasakan panas yang beginian saja tak tahan. Belum lagi panasnya api neraka. Hi, tak bisa dibayangkan jika itu menimpa manusia.

Namun, walau panas demikian memanggang, aku tetap memaksakan diri untuk keluar dari Flat. Karna mau tak mau aku harus keluar, ada janjian sama ayah dan ibu. Bahwa hari ini, aku akan nelpon jam 19.00 waktu Indonesia.

Baru saja melangkah beberapa meter, aku langsung disambut bola api yang menyala-nyala, menjilat-jilat, 'bak kayu bakar dilalap api.' Spontan saja keringat mengucur deras dari wajah dan sekujur tubuhku, 'bak pancuran, buliran itu menetes.'

Kurogoh saku koko biru, saku celana samping dan saku celana belakang, tetap tak ada.

"Ah, ketinggalan," lirihku tak bersuara, menahan sengat sang surya yang tak belas iba.

"Kalau balik lagi, Flat paling di-sutuh. Bisa habis tenagaku daki tangga yang super tinggi, kalau Flat-nya di-Ardiyah sih tidak masalah. Tapi, ini paling puncak. Belum lagi nanti jalan dari Muhafazhoh ke-Link. huh…" Aku agak sedikit membuang napas.

Sebenarnya sih, di-Imarah banyak internet, Aa khan, bang Abi, bang Gun dan bang Joe. Tapi kebetulan semuanya lagi time out. Tak bisa diaharapkan.

"Kubeli saja diwarung ah, kebetulan banyak warung disini. Harganya pun tak seberapa, Cuma nus junaih. Dan ngirit tenaga lagi. Ide yang bagus." Gumamku dengan senyum merekah dan penuh kemenangan.

"'Ayiz mandiil wahid." Pintaku pada baba pemilik warung.

"Bikam." Sambil menyerahkan uang setengah pound.

"Nus junaih." Jawab baba. Menyerahkan tisu putih padaku.

Kuambil satu. Kuseka keringat yang terus menetes dari wajah.

****

"Wah, rame banget Link siang ini. Padahal biasanya siang-siang gini sepi. Kebanyakan pada dirumah, menikmati baling-baling angin, sambil nonton, main game atau tidur-tiduran. Dan yang lebih mengherankan, rata-rata orang Indonesia. Hanya beberapa saja orang mesir. Aku mengernyitkan dahi, lama kuberpikir, baru teringat.

"O iya, sekarangkan Agustus, sebentar lagi Ramadhan. Biasanya kalau akan akan Ramadhan, Link ramai oleh masiswa Indonesia yang menelpon kekampung, berma'afan pada sanak keluarga. Aku baru ingat. juga kemarenkan Natijah baru turun."

Aku terus masuk menuju kursi antri yang terletak agak menjorok kedalam. Dan disana sudah ada tiga orang Indonesia yang lagi antri, yang sudah tak asing lagi bagiku, bang Fathoni, Romi, dan Mubarak. Tampaknya mereka sudah lama menunggu.

"Assalamu'alaikum." Sapaku pada mereka bertiga yang lagi asyik ngobrol, kecuali Mubarak, dia lagi asyik membaca.

"Wa'alaikum salam." Jawab mereka serentak.

"Ahlan, ahlan." Bang fathoni berdiri. Aku menyalaminya.

"Sudah lama bang." Tanyaku, sambil menyalami Mubarak dan Romi.

"Lumayan." Jawabnya singkat.

"Antum juga sudah lama Rom, Bar." Sambil duduk disamping bang Fathoni.

"Baru datang juga, beberapa menit sebelum antum datang." Jawab mubarak. Membaca kembali buku yang sempat terhenti ketika aku datang. Dia memang orang yang rajin dan pintar. Kalau tidak, mana mungkin dia akan Jayyid Jiddan. Dia orang Indonesia satu-satunya kuliah Ushuluddin Zagazig, yang Jayyid Jiddan setelah bang Ul, yang sekarang lagi ngajuan judul tesis S2.

"Mau nelpon bang." Aku kembali membuka pertanyaan. "Iya, antum." Balik bertanya.

"Sama ana juga mau nelpon." Jawabku sambil melihat kesekeliling yang pada penuh semuanya. Samping kanan dan belakang. Samping kiri dekat daun pintu masuk. Diujung, dekat daun pintu balkon.

Semuanya penuh. Tak ada bangku kosong yang bisa kutumpangi mengarungi dunia maya. Bercakap dengan ayah-bunda, tak ada. Padahal aku sudah kangen sekali pada mereka, sudah tiga bulan lebih aku tidak berkomunukasi. Sebenarnya aku ingin menelpon beberapa minggu yang lalu. Tapi, lantaran Natijah lambat turun. Akhirnya aku undur sampai Natijah benar-banar turun, agar aku bisa mengabarkan pada mereka, bahwa aku Najah atau tidak. Hasil control belum terlalu membuat aku yakin. Makanya aku belum berani menghubungi mereka. Tapi alhamdulillah satu hari yang lalu Natijah sudah turun, aku Najah dengan takdir Jayyid. Tentunya mereka akan senang dan sangat bangga padaku mendengar berita ini. mereka akan berkata, 'ternyata tak sia-sia perjuanganku selama ini. Keras kerja yang kulakukan tarnyata berbuah.' Aku tersenyum sendiri memikirnya.

Tak sabar rasanya ingin segera bicara. Mengabarkan hal ini dan mendengarkan suara mereka yang penuh wibawa. Suara yang selalu menasehatiku, agar aku selau rajin belajar, berpandai-pandai dan tidak bayak bermain. Ingat jerih orang tua!, ingat lunta-lunta orang tua mencari biaya!. Jangan terlena. Jangan terpedaya. Jangan terguna oleh kesenangan pana. Kalimat yang sering beliau setir tiap kali aku menelpon, yang membuatku semangat, yang membuat mataku berkaca, bulu kudukku merinding.

Aku haru dan bangga pada ayah dan ibu. Haru karna getirnya perjuangan beliau melabuhkan aku didermaga penuh misteri ini. Bangga karna aku punya ayah dan ibu seperti mereka, yang berpantang terhadap aral penghadang. Oh , ayah dan ibu, semoga Allah membalas semua jasa-jasamu. InsyaAllah aku akan selalu ingat nasehat dan pesan-pesanmu.

Tanpa terasa aku sudah satu jam menunggu. Jam sudah menunjukkan setengah empat. Sengaja aku datang lebih awal. Biar bisa nyantai dulu, lihat-lihat berita atau baca artikel. Tapi yah…, semuanya penuh. Terpaksa deh nunggu.

Mataku terus gerayangan mencari, kalau-kalau ada tempat yang kosong. Kuperhatikan semuanya dari samping kiri dan kanan, belakang dan ujung, tak ada yang kosong. Lamaku mengamati mataku tertuju pada orang yang ada ujung, dekat balkon.

"ah, aku ada ide, tampaknya beliau lagi santai?." Beranjak dari tempat duduk. Mengangkat badan yang cekil dan kurus itu. Bang fathoni dan romi sedang asyik ngobrol, nggak tahu arah pembicaraannya, sedangkan mubarak asyik membaca dengan khusuknya, emang nggak salah kalau dia Jayyid Jiddan. Nggak dirumah, nggak dijalan, nggak dimobil, nggak diqithor, nggak diantri ijroat kuliah, nggak dimana-mana, buku selalu dibawa dan dibacanya. Pantas saja dipintar. Aku juga sekarang sedang menirunya biar bisa Jayyid Jiddan dan pintar. He…he…

"Assalamu'alaikum." Sapaku pada beliau yang lagi khusuk baca artikel Era Muslim, 'Perseteruan antara Amerika dan Iran, Prediksi dan Tuduhan Terorisme'. Dibawahnya kulihat,'Ramadhan dan Kebangkitan Umat.'

"Wa'alaikumsalam," jawab beliau agak kaget. Maklum aku tadi menyapa agak keras, takut nggak kedengaran.

"Sehat bang." Berjabat tangan dan cium pipi. Kalau di Mesir biasa yang beginian. Tapi, kalau di Indonesia aib banget. Bahkan mungkin dibilang homo lagi.

"Alhamdulillah, sehat. Antum gimana?." Beliau balik bertnya.

"Alhamdulillah, ana juga sehat." Balasku. Pada bang Darwis begitu beliau biasa dipanggil.

"Bang." Aku agak sedikit malu-malu.

"Iya, ada apa. Ada yang bisa abang Bantu." Jawab beliau ramah, yang membuatku semakin segan.

"Eh, a…anu bang." Aku agak sedikit gagap.

Kemudian aku ceritakan maksud dan tujuanku. Beliau angguk-angguk paham.

"O, ya. Tidak apa-apa. Silahkan kebetulan abang juga baru selesai nelpon. Dan sekarang lagi lihat-lihat artikel sambil nunggu Ashar. Silahkan." Sambil menyerahkan mouse dan heansed yang meletek dikepala.

"Afwan ya bang, lagi asyik-asyik baca, datang pengganggu." Kataku kembali.

"Ah, tidak apa-apa, santai aja." Lalu menatap kearah computer. Aku mengiringi tatapan beliau. Mataku beradu dengan simata satu. 'Fiqih Maqasid antara JIL dan Imam Syatiby,' Perbedaan antara Fiqih Maqasid Imam Syatiby dengan Fiqih Maqasid JIL.

Lama aku berbincang dengan ayah dan ibu. Kurang lebih satu jam. Tanpa terasa azan Asyar sayup-sayup mulai berkumandang diseantero menara masjid kota Zagazig. Dengan senyum dan hidung mekar, kuletakkan Headsed seraya men-off yahoo messenger. Bang Dar juga tampaknya sudah bersiap-siap Selesai.

"Udah bang, syukran jazakallakhairan." Ucapku pada bang Dar Yang lagi menutup website-website.

"Oh, ya sama-sama. Gimana keadaan orang tua dan keluarga, sehat semua." Tanya beliau setelah menutup semua website.

"Alhamdulillah semuanya sehat-sehat, ana juga kabarkan pada mereka. Bahwa ana najah dan sehat-sehat aja, beliau sangat senang mendengarnya, dan tak henti-hentinya berpesan agar prestasi ini dipertahankan, jangan sampai terlena, tingkatkan terus. Kesehatan juga dijaga. Ana senang sekali bang. Beliau bercerita perubahan yang terjadi dikampung. Begini. 'Dulu waktu sebelum berangkat. Ibu belum menutup aurat, sekarang sudah, dan rajin ibadah. Ayah juga begitu, yang dulu shalatnya bolong-bolong, semenjak ana kuliah di-Mesir, rajin shalat sekarang. Adek-adek yang malasnya minta ampun, sekarang dah rajin, bahkan kemaren peringkat satu. Dan kakek-nenek yang dulu merokok, sekarang dah berhenti total. Semuanya berubah sesuai harapan. Dengan demikian 'Istana impian' InsyaAllah akan segera terbangun. Pondasi sudah, tinggal pelaksanaan saja.' InsyaAllah bang, ana akan sering-sering nelpon mereka, ngasih semangat mereka, seperti bulan-bulan lalu, sebelum Natijah turun."

"Bang kali ini biar ana yang bayar ya…! Rengekku pada bang Darwis. Agar beliau tidak menolak.

"Syukron, syukron nggak usah, biar abang aja." Menahan tanganku yang terulur.

"Pleas bang, kali ini… aja. Ana lagi senang. Jadi, ana mau bagi kesenangan." Aku terus mamaksa dan memaksa, sambil terus mengulurkan tangan. Akhirnya beliau luluh dan membiarkanku.

Bang Fahoni, mubarak dan Romi sudah tak tampak disana, mungkin mereka sudah pulang duluan.

Hampa tanpa rasa, gulita tanpa warna, malam sepi, malam sunyi. Dengingan nyamuk berirama, memberi makna malam nan hampa.

Zagazig, 28 Agustus 2007.

00.00 WZ


Udo Iwan

Ukiran Cinta Bunda

UKIRAN CINTA AYAH-BUNDA

Sayup-sayup kudengar suara bunda mengalun indah diseberang, mengurai kata, mengukir cinta dijiwa. Bercerita apa yang beliau rasa. Memaknai hidupku dengan ukiran cinta.

" Mungkin irwan tidak tahu hal ini, karena ibu memang tidak memberi tahukannya. Ini hanya sedikit kisah, yang ibu rahasiakan, karena takut irwan akan kecewa mendengarnya. Tapi, karena sekarang semuanya telah terlewati dan berlalu, tidak ada salahnya kalau ibu bercerita, mungkin bisa sebagai kenang-kenangan ataupun sebagai bahan renungan.

Dulu, waktu irwan bertanya tentang dana pemberangkatan ke Mesir, sebenarnya dana itu belumlah ada. tidak ada sepeserpun ditangan. Ibu tidak tahu harus menjawab apa. Tapi, kemudian Makwo berkata pada ibu, 'udah ni bilang aja ada, untuk menyenangkannya. Supaya dia nanti tidak kecewa.' Ibu sebenarnya berat sekali untuk mengatakan, iya, karena memang tidak ada dana sepeserpun. Tapi, akhirnya ibu mengatakan iya, ada. Tanpa tahu harus berbuat apa, karena Makwo terus mendesak. Entah dari mana ibu akan mendapatkannya.

Sebenarnya ibu berharap agar Irwan tidak lulus dalam tes ke Mesir, karena masalah dana tadi. Tapi kenyataanya tidak sesuai dengan harapan ibu. Irwan lulus. Orang-orang bilang, ibu ini orang orang yang bodoh, karena mendo'akan anaknya gagal, 'mana ada orang tua yang mendo'akan anaknya gagal, yang ada itu mendo'akan agar anaknya sukses, gimana kamu ini sih.' Begitulah perkataan orang terhadap ibu.

Ibu sangat membenarkan apa yang mereka katakan, memang ibu akui, ibu ini adalah orang yang bodoh, mendo'akan anaknya gagal.

Waktu itu ibu tidak tahu harus berbuat apa, karena tidak ada dana, karena tidak ada sesuatu yang bisa dijual. Karena kalau irwan tidak lulus, tentu tidak jadi bahan pikiran Ayah da Ibu. Tapi, Allah bekehendak lain, Allah Maha tau apa yang terbaik buat hambanya. Dan itulah yang terbaik. Yang irwan jalani sekarang.

Akhirnya dengan membaca Basmalah Ayah-Ibu mulai segala usaha. Sebagaimana irwan lihat sendirikan sebelum berangkat dulu. Pagi-pagi nderes karet, siangnya pulang, kemudian pergi ketambang, pulang sampai tengah malam. Sekali seminggu buat makanan untuk dijual keliling desa dan PT Sawit. Dengan kerja demikian. Akhirnya, terkumpul sedikit dana. Sebagai tambahan Ayah-Ibu pinjam ke Bank dengan jaminan surat tanah rumah, juga bantuan dari sanak keluarga. Barulah terkumpul dana untuk irwan berangkat.

Ibu bercerita ini bukan bermaksud untuk menyebut-nyebut pengorbanan. Tapi, irwan tahu bagaimana proses irwan bisa sampai ke negri yang irwan impikan dan supaya bisa dijadikan cambuk bagi irwan untuk rajin belajar, 'beginilah orang tua saya mencari dana saya kuliah, akankah sya sia-siakan.' Ibu Cuma berpesan kepada irwan pandai-pandailah dalam memanfa'atkan kesempatan, jangan banyak bermain, rajin-rajinlah dalam belajar. insyaAllah Ayah dan Ibu akan selalu mendo'akan Irwan agar menjadi orang yang sukses.

Percakapan itu berakhir dengan bara yang menyala-nyala dalam dadaku. Memompa semangat yang menggebu makin menggebu. Aku takkkan sia-siakan pengorbanan ini, untuk bersantai atau bermalas-malasan.

Masih banyak misteri yang belum kuketahui.

Zagazig, 20 Oktober 2007


Udo Iwan

Sang Rembulan

Sang Rembulan


Aku benar-benar tak percaya. Aku benar-benar kaget. Hatiku nyilu, perih, bak habis diiris-iris sembilu. Kepalaku pecah bak habis dihantam besi panas. Badanku hangus bak habis disambar halilintar. Aku benar-benar tak menyangka. Aku benar-benar tak yakin akan hal ini. Aku merasa ini hanya mimpi. Tapi, aku bukan bermimpi. Barusan aku mendengar sendiri, dan aku sangat sadar, apa yang barusan aku dengar. Rasa-rasa ini hanya di flm saja, yang biasa dulu kutonton. Tapi ini nyata. Ini bukan dalam film.
Ingin rasanya kumenangis. Ingin rasanya aku berteriak, mejerit-jerit. Tapi itu hanya akan sia-sia. Tak akan bisa merubah segalanya. Semuanya telah terjadi. Semuanya telah terlambat. Aku terlambat.
Andai beberepa minggu yang lalu, tentu semuanya takkan seperti ini. Minimal aku bisa memberi pertimbangan apa yang akan diputuskan. Dia itu masih lugu. Sedih sekali aku membayangkan. Aku benar-benar kecewa. Aku benar-benar iba kepadanya. Jika itu jadi ia lakukan. Jika keputusan itu jadi ia laksanakan. Sudah pasti cita-citanya akan hancur.
Belum saatnya bagi dia. Masa depannya masih panjang, Sepanjang jalanan yang tak berujung. Masa depannya masih cerah, secerah mentari pagi. Masa depannya masih luas, seluas samudra sana.
Baru kemaren ia melepas seragam putih merah, baru kemaren ia melepas seragam putih biru, dan hanya baru beberapa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tapi, sekarang ia ingin melaksanakan hal yang belum saatnya bagi dia.

" Ibu sudah coba menasehati dan memberi pertimbangan. 'Apakah kamu nanti tidak menyesal dengan keputusan ini." Masih terngiang kata ibu ditelingaku.
" Dia sudah tidak mau lagi sekolah, Ayah dan Ibu sudah berusaha membujuk agar tetap sekolah. Tapi, yah… Ayah-Ibu tidak bisa memaksa, percuma kalau dipaksa. Malah akan membuat dia semakin liar."

Yang lebih membuat hatiku perih adalah ketika kutanyakan sendiri padanya. Kenapa kamu tidak mau sekolah?. Jantungku seketika ingin berhenti berdetak, seakan-akan meledak. Mendengar jawaban yang sangat memilukan.
" Aku tak ingin menambah beban Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu sekarang lagi susah, lagi banyak hutang. Sedangkan kita yang bersekolah bertiga, biarlah aku saja yang mengalah. Biarlah kakak dan adek saja yang sekolah, aku rela."

Aku tak menyangka adekku yang lugu, yang baru kemaren beranjak dari bangku SMP punya pemikiran yang demikian. Pemikiran yang membuat hatiku pilu. Ingin rasanya aku tumpahkan buliran-buliran bening yang sedari tadi menggumpal. Tapi tak bisa. Buliran itu tak mau keluar.
" Cara itu tidaklah akan menyelesaikan masalah. Justru akan menambah masalah. Menambah beban ayah dan ibu. Menambah baban pemikiran mereka. Mereka tentu sedih. Mereka tentu sangat kecewa. Harapan orang tua yang ingin anaknya menjadi orang yang berguna, berilmu, dan berbakti. Tentu akan sirna. Kalau kamu memang ingin membantu Ayah dan Ibu. Seharusnya kamu bisa membantu mereka denga rajin belajar. Dengan prestasi. Itu akan meringankan beban meraka. Minimal beban pemikiran. Bukan dengan cara ini."
Aku mencoba menasehati dengan hati. Aku tau, itu semua hanya sia-sia, karena semuanya telah terlambat. Tetapi aku mengatakan demikian, karena aku tidak ingin itu dijadikan sebagai alasan untuk ia berhenti sekolah. Karena itu sangat tidak masuk akal sekali.
Padahal kalau dia mau berpikir lebih dewasa lagi. Ia tentu akan berpikir. Ayah dan ibu banyak hutang, itu semua untuk sekolah saya. Saya harus rajin belajar. Demikian hendaknya dia berpikir. Bukannya malah berhenti sekolah. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya. Sebenarnya apa sih yang ada dalam pkirannya. Padahal ayah ibu sendiri mengatakan,

" Selagi anak mau disekolahkan. Ayah dan Ibu akan terus menyekolahkan. Sampai cita-citanya tercapai. Tentunya dengan batas kemampuan. Tapi, Insya Allah Ayah-Ibu akan selalu berusaha sekuat tenaga."
Aku membuktikan sendiri perkataan beliau, yaitu dengan berlabuhnya aku di negri seribu menara ini, tanpa kekurangan apapun. Walau dengan banyak hutang disana-sini, karena tidak ada sesuatu yang bisa dijual, hanya sertifikat tanah yang digadaikan ke Bank, dan aku tahu hal itu. Makanya aku tidak ingin mengecewakan mereka. Walaupun sebagai manusia, aku kadang-kadang juga merasakan malas. Tapi, cepat-cepat kutepis, tidak kubiarkan dia berlarut-larut.

Aku jadi curiga padanya. Pasti ada sesuatu yang membuat dia malas sekolah. Ternyata kecurigaanku itu terbukti. Ketika aku menghubungi ibu. Ibu yang memberi tahukan. sesuatu itu adalah laranganku yang dilanggar. Larangan yang dari dulu aku wanti-wanti agar jangan pernah melakukan. Akibatnya terjangkit virus tersebut dan malas sekolah.

" Jangan pernah pacaran, karna pacaran itu banyak sekali mudharatnya. Untungnya tidak ada. Malah membuat kita nista. Dengan dosa yang selalu dilakukan. Dan yang pasti didalam islam istilah pacaran itu tidak ada dikenal. Yang dikenal hanya istiah khitbah atau pinangan."
Nasehatku padanya setiap kali aku menelpon kekampung. Tapi, laranganku itu dilanggar akibatnya, yah seperti sekarang ini, dia malas sekolah, dan yang lebih mengecewakan, malahan ingin menikah pula. Padahal umurnya baru dini sekali, SMA pun belum rampung. Belum lagi saatnya untuk menikah. Masa depannya masih cerah. Jalan hidupmu masih panjang. Tapi, yah. Semuanya telah terlambat, semuanya telah terjadi. Adekku telah dipinang orang.

Andai aku tau sebelum pinangan itu, tentu semuanya bisa tidak akan terjadi, minimal aku bisa memberi pertimbangan atau masukan. Kalau yang menjadi permasalahan, sekolah. Mungkin aku bisa mengubah pendirian atau memotivasinya untuk terus sekolah. Tapi, ini yang menjadi permasalahan adalah pinangan. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

" Apakah pinangan itu bisa dibatalkan."
Tanyaku suatu ketika pada ibu. Hatiku mengembun, tatkala mendengar jawaban yang beliau berikan.

" Pinangan itu tidak bisa dibatalkan nak, karna sudah menjadi perjanjian, dan sudah menjadi adat kita, bahwa tidak bisa dibatalkan. Dan kalau seandainyapun dipaksa dibatalkan, akan berdampak buruk kepada keluarga kita. Terutama kepada adekmu. Dan pandangan orang pun akan lain kepada kita." Jawab beliau.
Aku membenarkan kata ibu, seandainya itu dibatalakan tentu akan menimbulkan masalah baru. Pihak laki-laki yang diputuskan tentu akan kecewa, tidak merasa senang dan sakit hati. Karna telah diterima tiba-tiba diputuskan begitu saja.

" Begitulah nak keadaan kampung kita, pengaruh lingkungan yang sangat deras, sederas badai dilautan. Menghantam dan menerjang. Ini dikarenakan kurangnya didikan dari orang tua. Kamu tau sendiri kampung kitakan?! Yang ada dibenak mereka itu, bagaimana mendapatkan uang. Sedangkan pendidikan anak tidak terlalu diperhatikan. Kalaupun anaknya disekolahkan, mereka cenderung memasukkannya kesekolah umum dari pada sekolah agama. Dengan dalih setelah sekolah dapat langsung kerja, sedangkan sekolah agama tidak. Ayah dan Ibu sebenarnya ingin menyekolahkan adekmu keluar kota, tempat kamu sekolah dulu. Tapi, ibu tak mau kejadian yang menimpa Santi, terjadi menimpa Ani, adekmu. Dia kawin lari dengan pacarnya. Ibu khawatir itu akan terjadi. Karna itu, biarlah ia sekolah dikampung.
Sering sekali laki-laki itu datang kerumah menemuinya. Karna ibu takut terjadi yang bukan-bukan. Akhirnya, ibu buat perhitungan dengan orang tuanya. Kami sepakat untuk menikahkannya. Sebelum benang-benang cinta mereka merajut lebih jauh. Dan, dia juga ( yang laki-laki ) sudah pandai mencari nafkah. Biaya sekolah waktu SMA dulu saja, dia yang mencari sendiri." Ibu menerangkan padaku dengan sangat hati-hati. Sebenarnya ini adalah berita gembira. Berita bahagia. Bagi siapapun yang merasakan. Tapi yang menjadi permasalahan dia itumasih kecil, masih belum saatnya. Tapi, apa boleh buat, semuanya telah terlanjur terjadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

" Semuanya telah terjadi. Zaky tidak bisa berbuat apa-apa. Zaky hanya bisa berdo'a, semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untuknya." Walau hatiku agak sedikit tergores, aku berusaha mengikhlaskan dan menyetujui.

" Iya, sekarang kita hanya bisa berdo'a, agar ini jalan yang terbaik bagi dia dan kita semua. Dan juga, ibu berpesan agar hal ini tidak menjadi beban pikiran dan mengganggu belajarmu. Mungkin ini sudah suratan. Kita terima saja. Semoga inilah yang terbaik. Dan sekarang ibu hanya menaruh harapan padamu. Agar rajin-rajin belajar. Dan juga jangan lupa, sering-seringlah menghubungi Miftah, motifasi dia terus agar selalu rajin belajar. Dan ibu lihat dia sangat serius untuk sekolah dan ingin agar bisa berkuliah ditempatmu sekarang. Ibu pernah mencandai dia, 'Berhenti saja Itah sekolah, nikah aja kayak uni Ani.
Apa jawab dia, 'sorry layau. Itah masih mau sekolah, kayak uda Zaky.' Teruslah kamu beri dia semangat. Agar bisa menyusulmu kuliah di Mesir"

Malam kelam terus merayap pergi, meninggalkan sang rembulan malam. Senyumannya mulai memudar ditutup awan hitam. Desauan angin membahana, mengelus-elus wajahku yang kusut. Kutermangu bisu, sambil terus berdo'a. semoga inilah yang terbaik bagi semua.


Zagazig, 13 Oktober 2007
Sabtu, 23.30 WZ. Dikesunyian malam


Udo Iwan

Sang Rembulan

Sang Rembulan


Aku benar-benar tak percaya. Aku benar-benar kaget. Hatiku nyilu, perih, bak habis diiris-iris sembilu. Kepalaku pecah bak habis dihantam besi panas. Badanku hangus bak habis disambar halilintar. Aku benar-benar tak menyangka. Aku benar-benar tak yakin akan hal ini. Aku merasa ini hanya mimpi. Tapi, aku bukan bermimpi. Barusan aku mendengar sendiri, dan aku sangat sadar, apa yang barusan aku dengar. Rasa-rasa ini hanya di flm saja, yang biasa dulu kutonton. Tapi ini nyata. Ini bukan dalam film.
Ingin rasanya kumenangis. Ingin rasanya aku berteriak, mejerit-jerit. Tapi itu hanya akan sia-sia. Tak akan bisa merubah segalanya. Semuanya telah terjadi. Semuanya telah terlambat. Aku terlambat.
Andai beberepa minggu yang lalu, tentu semuanya takkan seperti ini. Minimal aku bisa memberi pertimbangan apa yang akan diputuskan. Dia itu masih lugu. Sedih sekali aku membayangkan. Aku benar-benar kecewa. Aku benar-benar iba kepadanya. Jika itu jadi ia lakukan. Jika keputusan itu jadi ia laksanakan. Sudah pasti cita-citanya akan hancur.
Belum saatnya bagi dia. Masa depannya masih panjang, Sepanjang jalanan yang tak berujung. Masa depannya masih cerah, secerah mentari pagi. Masa depannya masih luas, seluas samudra sana.
Baru kemaren ia melepas seragam putih merah, baru kemaren ia melepas seragam putih biru, dan hanya baru beberapa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tapi, sekarang ia ingin melaksanakan hal yang belum saatnya bagi dia.

" Ibu sudah coba menasehati dan memberi pertimbangan. 'Apakah kamu nanti tidak menyesal dengan keputusan ini." Masih terngiang kata ibu ditelingaku.
" Dia sudah tidak mau lagi sekolah, Ayah dan Ibu sudah berusaha membujuk agar tetap sekolah. Tapi, yah… Ayah-Ibu tidak bisa memaksa, percuma kalau dipaksa. Malah akan membuat dia semakin liar."

Yang lebih membuat hatiku perih adalah ketika kutanyakan sendiri padanya. Kenapa kamu tidak mau sekolah?. Jantungku seketika ingin berhenti berdetak, seakan-akan meledak. Mendengar jawaban yang sangat memilukan.
" Aku tak ingin menambah beban Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu sekarang lagi susah, lagi banyak hutang. Sedangkan kita yang bersekolah bertiga, biarlah aku saja yang mengalah. Biarlah kakak dan adek saja yang sekolah, aku rela."

Aku tak menyangka adekku yang lugu, yang baru kemaren beranjak dari bangku SMP punya pemikiran yang demikian. Pemikiran yang membuat hatiku pilu. Ingin rasanya aku tumpahkan buliran-buliran bening yang sedari tadi menggumpal. Tapi tak bisa. Buliran itu tak mau keluar.
" Cara itu tidaklah akan menyelesaikan masalah. Justru akan menambah masalah. Menambah beban ayah dan ibu. Menambah baban pemikiran mereka. Mereka tentu sedih. Mereka tentu sangat kecewa. Harapan orang tua yang ingin anaknya menjadi orang yang berguna, berilmu, dan berbakti. Tentu akan sirna. Kalau kamu memang ingin membantu Ayah dan Ibu. Seharusnya kamu bisa membantu mereka denga rajin belajar. Dengan prestasi. Itu akan meringankan beban meraka. Minimal beban pemikiran. Bukan dengan cara ini."
Aku mencoba menasehati dengan hati. Aku tau, itu semua hanya sia-sia, karena semuanya telah terlambat. Tetapi aku mengatakan demikian, karena aku tidak ingin itu dijadikan sebagai alasan untuk ia berhenti sekolah. Karena itu sangat tidak masuk akal sekali.
Padahal kalau dia mau berpikir lebih dewasa lagi. Ia tentu akan berpikir. Ayah dan ibu banyak hutang, itu semua untuk sekolah saya. Saya harus rajin belajar. Demikian hendaknya dia berpikir. Bukannya malah berhenti sekolah. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya. Sebenarnya apa sih yang ada dalam pkirannya. Padahal ayah ibu sendiri mengatakan,

" Selagi anak mau disekolahkan. Ayah dan Ibu akan terus menyekolahkan. Sampai cita-citanya tercapai. Tentunya dengan batas kemampuan. Tapi, Insya Allah Ayah-Ibu akan selalu berusaha sekuat tenaga."
Aku membuktikan sendiri perkataan beliau, yaitu dengan berlabuhnya aku di negri seribu menara ini, tanpa kekurangan apapun. Walau dengan banyak hutang disana-sini, karena tidak ada sesuatu yang bisa dijual, hanya sertifikat tanah yang digadaikan ke Bank, dan aku tahu hal itu. Makanya aku tidak ingin mengecewakan mereka. Walaupun sebagai manusia, aku kadang-kadang juga merasakan malas. Tapi, cepat-cepat kutepis, tidak kubiarkan dia berlarut-larut.

Aku jadi curiga padanya. Pasti ada sesuatu yang membuat dia malas sekolah. Ternyata kecurigaanku itu terbukti. Ketika aku menghubungi ibu. Ibu yang memberi tahukan. sesuatu itu adalah laranganku yang dilanggar. Larangan yang dari dulu aku wanti-wanti agar jangan pernah melakukan. Akibatnya terjangkit virus tersebut dan malas sekolah.

" Jangan pernah pacaran, karna pacaran itu banyak sekali mudharatnya. Untungnya tidak ada. Malah membuat kita nista. Dengan dosa yang selalu dilakukan. Dan yang pasti didalam islam istilah pacaran itu tidak ada dikenal. Yang dikenal hanya istiah khitbah atau pinangan."
Nasehatku padanya setiap kali aku menelpon kekampung. Tapi, laranganku itu dilanggar akibatnya, yah seperti sekarang ini, dia malas sekolah, dan yang lebih mengecewakan, malahan ingin menikah pula. Padahal umurnya baru dini sekali, SMA pun belum rampung. Belum lagi saatnya untuk menikah. Masa depannya masih cerah. Jalan hidupmu masih panjang. Tapi, yah. Semuanya telah terlambat, semuanya telah terjadi. Adekku telah dipinang orang.

Andai aku tau sebelum pinangan itu, tentu semuanya bisa tidak akan terjadi, minimal aku bisa memberi pertimbangan atau masukan. Kalau yang menjadi permasalahan, sekolah. Mungkin aku bisa mengubah pendirian atau memotivasinya untuk terus sekolah. Tapi, ini yang menjadi permasalahan adalah pinangan. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

" Apakah pinangan itu bisa dibatalkan."
Tanyaku suatu ketika pada ibu. Hatiku mengembun, tatkala mendengar jawaban yang beliau berikan.

" Pinangan itu tidak bisa dibatalkan nak, karna sudah menjadi perjanjian, dan sudah menjadi adat kita, bahwa tidak bisa dibatalkan. Dan kalau seandainyapun dipaksa dibatalkan, akan berdampak buruk kepada keluarga kita. Terutama kepada adekmu. Dan pandangan orang pun akan lain kepada kita." Jawab beliau.
Aku membenarkan kata ibu, seandainya itu dibatalakan tentu akan menimbulkan masalah baru. Pihak laki-laki yang diputuskan tentu akan kecewa, tidak merasa senang dan sakit hati. Karna telah diterima tiba-tiba diputuskan begitu saja.

" Begitulah nak keadaan kampung kita, pengaruh lingkungan yang sangat deras, sederas badai dilautan. Menghantam dan menerjang. Ini dikarenakan kurangnya didikan dari orang tua. Kamu tau sendiri kampung kitakan?! Yang ada dibenak mereka itu, bagaimana mendapatkan uang. Sedangkan pendidikan anak tidak terlalu diperhatikan. Kalaupun anaknya disekolahkan, mereka cenderung memasukkannya kesekolah umum dari pada sekolah agama. Dengan dalih setelah sekolah dapat langsung kerja, sedangkan sekolah agama tidak. Ayah dan Ibu sebenarnya ingin menyekolahkan adekmu keluar kota, tempat kamu sekolah dulu. Tapi, ibu tak mau kejadian yang menimpa Santi, terjadi menimpa Ani, adekmu. Dia kawin lari dengan pacarnya. Ibu khawatir itu akan terjadi. Karna itu, biarlah ia sekolah dikampung.
Sering sekali laki-laki itu datang kerumah menemuinya. Karna ibu takut terjadi yang bukan-bukan. Akhirnya, ibu buat perhitungan dengan orang tuanya. Kami sepakat untuk menikahkannya. Sebelum benang-benang cinta mereka merajut lebih jauh. Dan, dia juga ( yang laki-laki ) sudah pandai mencari nafkah. Biaya sekolah waktu SMA dulu saja, dia yang mencari sendiri." Ibu menerangkan padaku dengan sangat hati-hati. Sebenarnya ini adalah berita gembira. Berita bahagia. Bagi siapapun yang merasakan. Tapi yang menjadi permasalahan dia itumasih kecil, masih belum saatnya. Tapi, apa boleh buat, semuanya telah terlanjur terjadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

" Semuanya telah terjadi. Zaky tidak bisa berbuat apa-apa. Zaky hanya bisa berdo'a, semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untuknya." Walau hatiku agak sedikit tergores, aku berusaha mengikhlaskan dan menyetujui.

" Iya, sekarang kita hanya bisa berdo'a, agar ini jalan yang terbaik bagi dia dan kita semua. Dan juga, ibu berpesan agar hal ini tidak menjadi beban pikiran dan mengganggu belajarmu. Mungkin ini sudah suratan. Kita terima saja. Semoga inilah yang terbaik. Dan sekarang ibu hanya menaruh harapan padamu. Agar rajin-rajin belajar. Dan juga jangan lupa, sering-seringlah menghubungi Miftah, motifasi dia terus agar selalu rajin belajar. Dan ibu lihat dia sangat serius untuk sekolah dan ingin agar bisa berkuliah ditempatmu sekarang. Ibu pernah mencandai dia, 'Berhenti saja Itah sekolah, nikah aja kayak uni Ani.
Apa jawab dia, 'sorry layau. Itah masih mau sekolah, kayak uda Zaky.' Teruslah kamu beri dia semangat. Agar bisa menyusulmu kuliah di Mesir"

Malam kelam terus merayap pergi, meninggalkan sang rembulan malam. Senyumannya mulai memudar ditutup awan hitam. Desauan angin membahana, mengelus-elus wajahku yang kusut. Kutermangu bisu, sambil terus berdo'a. semoga inilah yang terbaik bagi semua.


Zagazig, 13 Oktober 2007
Sabtu, 23.30 WZ. Dikesunyian malam


Udo Iwan

Petualangan

PETUALANGAN

Ngurus minha di Baituzzakah II

Waktu terus merayap. Matahari tlah bergeser dari pusat langit. Namun walaupun demikian, panas tetap menyengat. Kami melangkah pulang dengan Metro Anfak. Berhenti di-Mubarak. bang Nurman tidak sama turun dengan kami. Beliau ada acara di-Mansurah. Kami turun lebih awal.

Kami terus jalan, Keramsis. naik qitar ke-Zagazig. Dan selesailah petualanganku ngurus Minha.

****

Pagi ini, udara cukup dingin. Malas sekali rasanya bangkit dari persembunyian. Selimut tebal, udara dingin, begitu menggoda untuk kembali melanjutkan pelayaran mengarungi samudra mimpi. Tapi, itu tak mungkin. Pagi ini jatahku piket rumah. Kasihan teman-teman lain, nanti nggak makan lagi, jikalau aku tidur. Dan, juga hari aku ada acara, ke Baituzzakah. Mencek ulang nama yang dulu ditakdim.

Huh, mau tak mau. Aku kemudian bangkit. Mencuci muka kembali. Aku ketiduran lagi ba'da shalat Shubuh. Aku melangkah kehamam.

" Wan, antum pergi bareng nggak " khanova menegurku. Kulihat dia sudah rapi. Sudah bersiap-siap.

" Antum duluan aja. Ana nanti aja. Mau masak dulu." Jawabku. Sambil terus masuk kedalam hamam.

Aku juga rada khawatir kalau nggak keluar di Baituzzakah, karena aku nakdim Cuma disana aja nggak ada ketempat lain. Dengar cerita senior-senior sih, "katanya kalau nakdim di Baitizzakah pasti keluar. Makannya aku hanya kesana saja, dengan alasan optimis diterima. Dan, juga aku nggak kepikiran, nakdim banyak-banyak. Tapi, nggak usah terlalu dipikirinlah, rizki itu ditangan Allah. Kalau emang rekinya disana, ya keluar. Tapi kalau nggak ya...? mungkin ditempat lain. Rezeki nggak kemana-mana.

Lebih kurang setengah delapan, aku berangkat berdua, bareng muhsin. Teman-teman lain sudah pada berangkat duluan. Hanya kami berdua yang tinggal lagi. Kami naik mobil biasa, putih merah. Ciri khas mobil Syarqiyah.

" masya Allah ramai sekali sin " aku heran sekali sambil geleng-geleng kepala.

" iya ramai sekali " muhsin tak kalah heran dariku.

" gila, bisa mati tuh orang, mobil sedang jalan rebutan juga naiknya " kulihat mesir bersaing, sal;ing mendahului memasuki mobil, berdesak-desakan. Laki-laki perempuan sama gesitnya. Aku nggak berani deh bersaing. Bisa tambah penyet badanku yang kwcil ini dijepit badan simesir yang gedek kayak badan gajah. Biarlah aku nunggu aja sampai pada sepi dulu. Tapi, yang kulihat bukannya tambah sepi justru tambah siang tambah ramai. Ah nggak mugnkin aku nunggu sepi, bisa telat aku. Mau nggak mau kupaksakan bersaing dengan si Mesir. Tapi aku tatap kalah gesit dari mereka, selalu aku tertinggal atau keduluan. Ah, aku sempat putus asa. Seamangatku untuk pergi kairo jadi mengendor.

" sabar ya wan, kita tunggu sebenter lagi " muhsin memberi semangat padaku. Muhsin juga kulihat gusar sepertiku. Meskipun demikian ia tetap tenang.

" wan coba lihat mobil hijau itu, kita tanya yuk siapa tahu dia ke ABUD " ajak muhsin padaku.

" ah, nggak mungkin sin, sepengetehuan ana mobil yang ke Kairo itu, nggak ada yang hijau " tolakku.

" kita coba aja dulu, kan nggak ada salahnya " muhsin meyakinku.

" iya deh, kita coba aja " jawabku tak bersemangat sambil mengikuti langkahnya menuju mobil hijau tersebut.

" abud," tanya muhsin pada pada bantng stir

" na'am, abud " jawab sopir tersebut. Muhsin memandangku sambil senyum. Aku jadi tersipu.

" abud wan " sorak muhsin padaku

" ayo, cepat naik " ajaknya bersemangat. Aku hanya mengangguk, mengiringi langkahnya menaiki mobil.

" wah, tempat duduk penuh semua, gimana dong wan " tanya muhsin padaku.

" iya nih " kuperhatikan sekelilingku, nggak ada yang kosong semuanya penuh. Apa aku harus berdiri sampai kairo, bisa mati berdiri aku. Tapi, mau gimana lagi, keadaan memaksa.

" tafadhdhal..." tiba-tiba kudengar suara simesir menyuruh kami duduk. Sayangnya, Cuma satu bangku.

" antum aja deh sin yang duduk "saranku pada muhsin yang berada dekat dengan si Mesir yang nyuruh duduk.

" nggak wan, antum aja yang duduk, ana diri aja " tolaknya, menarik tanganku yang tersembunti balik saku jaket hitam.

" antum lebih dekat. Dan, yang disuruh juga mungkin antum sin, bukan ana. Duduk aja, nanti diambil orang mesir lain lho " kataku pada muhsin, sambil melihat orang mesir lain yang berdiri dibelakangku

" oke deh " tanpa pikir panjang muhsin kemudian duduk.

" antum duduk aja senbelah ana, wan " tawar muhsin, sete;ah menghempaskan badannya keatas kursi.

" iya..." jawabku pendek

Alhamdulillah, akhirnya jadi juga berangkat. Hampir aja pupus semangatku, karena mobil tak kunjung tiba. Tapi emang takdir pergi, meski molor beberapa jam dari waktu yang direncanakan.

Lama berdiri, pegal sekali rasnya, kulihat semuanya pada enak tidur, bersandar pada kursi, aku doang yang berdiri, si mesir dibel;akangku sudah duduk. Huh, capek. Kududuk diatas pinggiran kursi sebelah muhsin. sakit juga sih bokong, lama-lama duduk. Tapi nggak apa deh bisa ngusir pegal barang sebentar.

Dengan badan yang pegal, akhirnya aku dan muhsin sampai juga di Muassasah, bagian kota Kairo. Perjalanan yang melelahkan. Baru kali aku ke Kairo berdiri. Berjalanpun kaku sekali rasanya, jarum-jarum kecil menusuk kakiku. Apabila kubawa berjalan, semakin kencang tusukannya.

" berhenti dulu sebenter sin, kaki ana kesemutan nih " pintaku pada muhsin sraya menahan denyutan kaki yang makin menjadi.

" antum nggak apa-apa wan " tanya muhsin

" nggak, nggak apa-apa, Cuma kesemutan aja dikit " jawabku singkat

" antum sih sin. Duduk nggak bagi-bagi " candaku pada muhsin

" aduh afwan, tadi ana ketiduran dan juga lipa kalau ada yang ketimpa musibah " dia balik mencandaiku

" Nanti deh lain kali, kalu antum berdiri ana duduk. Ana akan persilahkan antum duduk sambungnya mencandaiku

" ha... ha... " ketawa kami serentak

" yok lanjutakan perjalanan, nanti kita terlambat " ajakku pada muhsin. kami kembali melanjkutkan perjalanan. Menyebrangi jalanan yang cukup ramai oleh mobil-mobil.

" Antum tahu tempatnyakan wan " tanya muhsin padaku

" insyaAllah... " jawabku singkat

Kami turun kebawah mahaththah, menunggu metro, setelah beli tiket yan harganya Cuma satu pon. Bisa mondar-mandir seharian didalam tanah bersama metro anfak, asalkan jangan keluar dari dalam tanah, alias jangan keluar gerbang. Cuma beberap menit, metro datang.

" Gedubrak "

" Suara apa tuh." Aku sedikit kaget

" biasa, si Mesir rebutan masuk, cari tempat duduk " muhsin mengingatkanku.

" oo... " bibirku bulat panjang.

****

" dari mana " tanya ust hasan yang sedang berdiri didepan daun pintu.

" indonesia... " jawab kami hampir bersamaan

" Silahkan, sebulan lagi " busyet deh baru aja nyampai, belum juga disuruh duduk. Langsung disuruh pulang. Kejam sekali. Mana pegal kaki yang tadi belum hilang lagi.

" kami mau lihat nama kami pak, apa sudah keluar " tanyaku rada sewot pada ust hasan kepala baituzzakah.

" sebulan lagi " jawab singkat dengan sekenanya.

" boleh kami lihat kertas nama kami, pak " pinta muhsin

" untuk apa. Mau kamu bawa pulang, ambia saja " jawabnya dengan nada nggak bersahabat sedikitpun.

" nggak, pak. Cuma mau lihat aja " muhsin ikut sewot

" apa semua nama sudah keluar pak " aku kembali bertanya

" sebagian " katanya

" sekarang, cepat silahkan. Tadi indonesia, sekarang indonesia. Yang datang selalu indonesia. Padahal negar lain juga banyak. Tapi, nggak kayak gini " pak hasan memegeng bahuku dan mengipas-ngipas tangan kanannya, nyuruh pergi.

Huh, hari aku benar-benar apes, apes sekali. Inimah kata orang sudah jatuh ketibaan tangga lagi. Bagaimana tiadak sudah jauh-jauh dari Zagazig, berdiri lagi. Badan pegal-pegal. Pas nyampai ditujuan, langsung disuruh pulang. Bukannya siduruh duduk. Bagaimana nggak kesal sih. Coba deh kamu.

" eh sin, kita coba Khanova yo'. Gimana mereka, apa berhasil atau nggak " tawarku pada muhsin

" yah boleh " jawabnya singkat.

" gimana wan? " tanya muhsin padaku, ba'da nelpon.

" sama sin, juga disuruh pulang. Bahkan lebih lucu dan agak sadis dari kita "

" maksudnya ? " muhsin tampak penasaran.

" gini. Kan mereka masuk. Pertamanya sih ramah-ramah aja. Entah gimana ceritanya. Si khanova terus melobi. Salh ngomong atau gimana. Langsung aja reut pak hasan berubah " aku menjelaskan panjang lebar hal ihwal masalahnya.

" setelah itu dia disuruh berdiri. Khanova pikir ngapain, suruh berdiri segala. Setelah itu ' silahkan keluar sambung ust Hasan' terang aja mereka dia kaget. Tapi mau gimana lagi. Akhirnya mereka pilang dengan tangan kosong kayak kita. " terangku pada muhsin mengangkat kedua telapak tanganku.

" iya nih. Nggak rezekinya kali, ya wan." muhsin coba menerima segalanya.

" kok lain ustadz Hasan sekarang ya " muhsin membuka pembicaraan.

" kemaren ramah sekali " sambungnya.

" iya nggak tahu nih. Mugnkn aja dia lagi kesal. Kalau orang mesir, biasanyakan kalau lagi kesal atau marah, semua urusankan bisa jadi berabe" aku coba bijak, meskipun hatiku juga ikut ndongkol. Karena nggak terima digituin. Tapi mau gimana lagi. La wong yang butuh kita, yakan. Ah, udahlah mungkin nggak rezekinya kali.

" wan sekarang kita ke Majlis A'la yo' " muhsin memegang pundakku.

" apa, ke Majlis A'la " aku sedikit kaget.

" jalan lagi, yang benar aja sin " keningku sedikit berkerut. Bagaimana tiadak capek yang tadi belumlah hilang.

" malas ah, sin, capek " jawabku ketus

" sebentar aja, lihat natiajah ana, keluar apa nggak. Ayolah, temanin ana " muhsin terus membujukku. Memasang muka rayu. Aku juga nggak tega sih. Dia pergi sendirian.

" ya udah deh. Yok kita berangkat " ajakku padanya. Menarik canda tangannya.

****

" mana tempatnya sin. Kok dari tadi nggak ketemu-ketemu " gerutuku. Sudah berputar berkali-kali. Tapi, nggak ketemu juga. Bikin badanku tambah pegal. Dari bawah sampai atas.

" kayaknya itu deh. Yok kita coba masuk gang itu " menunjuk gang yang bagiku semuany asing. Maklum aku belum pernah kesini.

" wah salah. Kayak bukan ini wan. yok kita tanya bapak itu aja. " ajaknya kembali. Aku hanya mengkuti langkahnya. Nggak tahu deh kali masih salah apa betul.

" wan kesana. Jalan abdul Aziz "

" Benar nih sin nggak slah lagi "

" InsyaAllah. Kata bapak itu tadi kesana"

" o, ya udah. Yok " ajakku mulai bersemangat. Ternyata memang benar. Kami terus masuk kedalam. Kulihat pada sepi. Mungkin karena udah jam 14.00 kali, orang-orang udah pada pulang. Kami terus naik ketingkat tiga dan masuk kedalam ruangan yang aku juga tidak tahu. Disana kulihat ada satu orang yang lagi nunggu. Kami duduk dikursi disebelah orang tadi. Muhsin langsung menemui mama, yang ngurus masalah minhah.

Kecil sekali ruangannya. Dan kurang rapi.

" lagi ngurus apa stazd " aku menegur laki-laki yang ada disampingku.

" eh, iya nih. Lagi cek nama. Udah keluar apa belum. " jawabnya ramah

" kalau lagi ngurus apa " ia kembali bertanya padaku.

" ah, nggak. Ana Cuma nemenin temen yang juga pengen cek nama " sambil menghadapkan wajahku pada muhsin.

" Oo... " kepalanya naik turun.

****

" yok wan, pulang " muhsin menghampiriku

" gimana, udah keluar namanya? " tanyaku.

" belum. mungkin sebulan lagi " jawab muhsin. kami terus memacu langkah.

" o gitu. Terus sekarang kita mau kemana. Langsung pulang atau ada yang amu diurus lagi "

" kayak kita langsung pulang aja deh "

" ya udah, yo' " kugandeng tangan muhsin. kami berjalan meninggalkan Majlis A'la menuju mahaththah, yang kebetulan nggak terlalu jauh dari situ.

Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Pegal-pegal bedan ternyata tak terobati. Semua gagal. Tapi, mungkin emang udah takdir kali ya. Namanya juga perjuangan. Kalah menang, gagal sukses, itu hal yang biasa. Berakhir sudah perjalananku siang hari ini, dengan hasil Nol beasa, alias nihil. Tapi, yang jelas kita sudah berjuang, sudah berusaha. Hasil mah, Allah yang nentuin.

Selesai deh, petualangan ngurus minha hari ini. Sampai jumpa lagi dipetualangan-petualangan berikutnya.

Zagazig, 5 september 2007

08.30 WZ

Udo Iwan