Kamis, 14 Februari 2008

Petualangan Di Mesir

Feature

PETUALANGAN I

Ngurus Minha di Baituzzakah I

"Astaughfirullah…!." Pekikku kaget.

"Sudah jam tujuh pagi. Aku belum shalat shubuh." Segera kuambil handuk. Berlari kekamar mandi. Cuci muka kemudian bewudhu.

"Benar-benar keterlaluan. Shalat shubuh jam segini. Apa kata dunia nanti. Santri Azhar sahalat shubuhnya kesiangan." Tak henti-hentinya aku ngomel diri sendiri. Yang terlalu larut dibuai mimpi-mimpi nggak karuan. Ini juga dampak dari begadang tadi malam. Aku tidur terlalu larut. Akibatnya shalat shubuh kesiangan. Dan memang beberapa hari ini aku sering begadang dan shalat shubuh kesiangan. Begadang kerjanya sih tidak ada yang terlalu bemanfa'at. Ngorbol, nonton dan kadang-kadang membaca. Tapi, lebih banyak mainnya.

"Huh aku benar-benar keterlaluan." Masuk kamar dan shalat.

"Ayo Wan." Teriak Asrun dari luar kamar.

"Sekarang sudah jam setengah delapan nih, nanti kita terlambat." Dia terus mengomentariku dari luar.

"Ya, ya… sebentar lagi juga sudah selesai." Sahutku dari dalam kamar. Hari ini kami akan pergi ngurus Minha di-Baituzzakah Kuwaity. Sebenarnya sih sudah tutup bagi Wafidin Indonesia. Beberapa hari yang lalu aku menghubungi. Tapi, meskipun dibilang sudah tutup, tak ada salahnya kalau dicoba. Kami lambat ngurus dikarenakan Natijah terlambat. Akibatnya pun kami terlambat ngurus minha. Yang memang dari minhah itu penopang hidup dinegri pasir ini. Dan insyaAllah bang Nurman akan membantu.

Jam delapan tiga puluh kami berangkat. Naik mobil putih ke Kairo, jurusan Abut. Diluar jadwal memang. Maklum jam orang Indonesia.

Kami ada enam orang. Dua orang tingkat dua naik tingkat tiga, dan empat orang tingkat satu naik tngkat dua. Abang-abang tingkat dua mereka Tahwil dari Minha azhar ke Minha Baituzzakah. Karena mereka Jayyid. Dan ingin lebih pula Minhanya. Kalau di al-Azhar hanya pas-pasan. Tidak bisa nabung. Habis tuk makan. Kalau di-Baituzzakah memang lumayan besar. Dan bisa ditabung. Tapi, syaratnya, nilai paling rendah harus Jayyid. Kalau kurang dari itu. Tidak bisa.

Lebih kurang setengah sebelas kami sudah nyampai di Kairo. Kami turun di-Muassasah. Lumayan ramai disana. Mobil banyak berlalu lalang. Orang-orang banyak berlintas datang. Cuma sayang, pinggirannya agak jorok, banyak sampah bercecer. Disana ada pedagang kami lima, tidak terlalu ramai. Ya, karena memang disana bukan pasar. Disetiap gang jalan disesakkan oleh mereka yang berlalu lalang dan berdagang.

"Makan yok, bang…?." Tawarku pada bang joe yang berada didepanku. Perutku lapar sekali. Dari tadi menahan lapar. Tadi pagi tidak sempat sarapan, keburu-buru.

"Antum lapar…?." Tanya beliau sambil menghentikan langkah.

"Iya nih bang, laper banget. Tadi belum sempat sarapan." Jawabku.

"Boleh, kita makan apa." Beliau balik bertanya.

"qibdah aja bang kebetulan ada dekat sini." Tawarku.

"ya, boleh deh." Jawab beliau singkat.

"Din antum mau makan nggak" Tanya bang joe pada bang Udin yang berada disampingku.

"Nggak, Syukran. Ana makan roti aja." Jawab bang Udin.

Azra'I dan Ashrun tampaknya juga tidak mau makan qibdah.

Azra'ikan paling nggak tahan makan qibdah, kecuali kalau tedesak. Namanya juga tedesak. Apa aja habis dilahap. Kalau Ashrun nggak tau deh.

"'Aiz qibdah tsalasah." Pinta bang Joe pada penjual. Ya, kami hanya betiga yang mau makan qibdah, Aku, Izul dan bang Joe. Yang memang sangat lapar, apalagi Izul. Dimobil tadi dia hampir muntah, karna perut kosong yang belum diisi. Untung dia bisa menahan, kalau tidak. Wah, kasihan banget tuh yang punya mobil.

"bang Tajuddin, Azra'I dan Ashun, mana bang." Tanyaku pada bang Joe yang sedang menggerutu, qibdah-nya sedikit banget.

"Nggak tau, tadi ada disana." Menunjuk entah kemana sambil terus mengunyah qibdah yang tinggal seperempat.

****

"Jadi disini toh antum semuanya. Makan nggak ngajak-ngajak lagi." komentar bang Joe kesal. Karena dari tadi dicariin nggak ketemu, taunya asyik makan disini.

"Aduh, afwan deh. Antum makan lahap banget sih. Kamijadi ikut laper." Jawab bang Udin santai. Sambil terus mengunyah roti yang dibawa dari rumah tadi. Azra'I dan Ashrun makan Kusyari.

"Disini ada Sawarma, ya. Duh, kalau tau. Enak makan Sawarma tadi nih." Aku sedikit kecewa.

"Berapa satu bang." Tanyaku pada bang Udin.

"Mungkin dua pound." jawab bang Udin sambil minum.

Kemudian kupesan satu Sawarma. Makan qibdah tadi belum berasa. Perut masih saja lapar.

*****

"kasihan orang itu ya bang. Barang-barangnya diambil Mabahis." Kataku pada bang Joe.

"Iya sih, tapi juga salah dia. 'kan disini tidak boleh jualan." Jawab bang joe terus melangkah.

"Tapikan seharusnya dipeingatkan dulu. Ini main ambil saja. Kasihan tuh dia." Aku tampak kurang senang tehadap pelakuan Mabahis itu.

"Ya nggak taulah, orang mesir biasanya gitu. Sudah diperingatkan. Malah langgar lagi." Bang Joe terus melaju. Takut telat.

Diloket, kami beli tiket enam buah. Kemudian melangkah lurus kebawah Mahaththah. Menunggu Metro Anfaq atau kereta api bawah tanah.

"Ternyata asyik banget lho, naik kereta api bawah tanah. Diluar long-lorong gelap. Suasana hening hanya gema Metro yang bising. Nggak ada yang rebut kayak naik qithor biasa. Apalagi suara para penjual yang berteriak-teriak. Bikin sumpek.

Tapi saying, aku bediri. Tempat duduk semuanya penuh. Nggak ada yang kosong. Didalam hanya kami saja orang asing, selebihnya orang Mesir. Yang badannya gedek minta ampun. Dua kali lipat badanku.

Lamaku berdiri, di Mahaththah Sadat baru dapat tempat duduk.

"Ah lega rasanya. Pegal juga bediri. Teman-temanku semuanya sudah dari tadi duduk. Hanya aku saja yang belum mujur." Lebih kurang tiga puluh menit kami naik Metro. Akhinya sampai juga ditujuan, boohus.

Kami turun. Melangkah keluar dari metro. Meninggalkan Mahththah Boohus. Naik escalator. Jadi tebayang waktu di Indonesia pergi ke Ramayana dan matahari nih…!.

Seberkas cahaya mencuat, menyambaut kedatangan kami. Didalam Mahaththah emang terang sih. Tapi, terangnya beda dengan terang cahaya yang menyambut kami.

Kami berjalan mencari mobil ke Sari' Syurya.

"Sari' Syurya." Tanya bang johar pada orang mesir, yang lagi nuggu-nunggu penumang tampaknya.

"Na'am." Katanya sambil memandu kami menuju mobil.

Tidak terlalu jauh, hanya beberapa menit, kami sampai di Sari' Syurya. Berhenti disebuah simpang masuk ke Baituzzakah.

Disana ( disimpang ) telah menunggu bang Nurman, seniorku. Yang akan membantu kami mengurus Minha. Karena beliau sangat dekat dengan ustadz Hasan pegawi Baituzzakah. Mungkin karena prestasi beliau, bisa sampai dekat. Beliau adalah orang yang rajin dan pintar. Kalau tidak mana mungkin beliau Imtiyaz.

"Assalamu'alaikum." Sapa kami bersama pada beliau. Yang tampaknya sudah agak lama menunggu.

"Wa'alaikum salam warahmatullahiwabarakatuh." Jawab beliau ramah.

"Gimana kabarnya antum semua." Tanya beliau kembali.

"Alhamdulillah sehat bang." Jawab kami.

"Ayo,nanti kita terlambat." Ajak beliau kepada kami.

Kami terus malaju lurus, mengayuh langkah. Belok kanan. Dan sampai di tujuan, Baitzzakah.

"Ini Baituzzakah bang." Tanyaku sedikit tak percaya. Bayanganku Baituzzakah itu besar dan luas . Karna banyak mahasiswa yang diberi Minha olehnya. Membuatku kembali terbayang waktu memperpanjang Iqamah. Bayanganku juga sama tempanya luas dan besar. Tapi ternyata, eh, tepatnya kecil sekali. malah aku kebasahan nunggu diluar. Nggak salah aku namai Mesir ini negri misteri. Bayangan kita selalu meleset.

"Iya, ini namanya Baituzzakah. Tempatnya para mahasiswa ngurus Minha. Dan kalau ngambil Minha nggak disini, dibank Faisal. Ini hanya tempat Registrasi aja." Bang Nurman menjelaskan kepadaku yang lagi kebingingan. Maklum aku juga baru kali ini kesini.

"o," jawabku agak hambar.

Bang Nurman masuk kedalam ruangan. Sementara kami menunggu diluar. Tidak tau apa yang mereka bicarakan. Diluar tampak olehku Haris dengan baju putih, lagi asyik ngobrol dengan ibu-ibu.

"Mau kemana bang." Tanyaku pada bang Joe dan bang Udin yang pergi meninggalkan kami.

"Mau beli mav didepan." Sambil terus berlalu pergi.

"O." jawabku pelan.

Lama juga kami menunggu. Kurang lebih setengah jam. Asrun, izul dan Azra'i nggak tau lagi perhatian apa. Matanya gerayangan kayak musang mencari mangsa.

"Ayo, ayo cepat. Di isi formulirnya." Bang Nurman keluar membawa tiga formulir. Kami bertiga segera berlari menghampiri.

"Bisa bang." Tanyaku pada bang Nurman

"Alhamdulillah." Jawab beliau. Menyerahkan satu-satu formulir kepada kami

"Ayo didalam aja ngisinya." Ajak beliau.

"Syarat-syaratnya lengkapkan semuakan." Tanya beliau.

"Alhamdulillah udah bang." Jawab Azra'i. Aku hanya diam, khusuk menulis lampiran perintah yang diminta, Ashrun juga begitu.

"Assalamu'alaikum." Sapa bang Joe dan bang Udin yang baru datang.

"Wa'alikum salam." jawab kami.

"Ayo, ayo cepat." Bang Nurman memberi aba-aba kepada yang baru datang. Hanya beberapa menit kami menjawab.

"Hmm, akhirnya selesai juga." Gumamku. Sudah kuperiksa kembali semua. Tidak ada yang tertinggal. Kuperhatikan semuanya pun sudah selesai.

Bang Nurman memberi aba-aba. Agar formulir yang barusan di isi dimasukkan kedalam kotak surat ddiuar.

Alhamdulillah, akhirnya selesai juga. Sebenarnya tipis harapanku untuk bisa mendaftar. Karna udah tutup. Tapi Alhamdulillah berkat berdo'a dan bantuan bang Nurman, bisa juga.

"Gimana ceritanya bang, kok bisa dapatkan formulir, padahlkan sudah tutup, dan nggak bisa lagi." Tanyaku penasaran pada bang Nurman.

"Ya, awalnya tadi juga tidak bisa. Tapi Abang lobi-lobi terus. Akhirnya ia ngerti juga. 'yang salah ini bukan kaminya pak. Tapi, natijahnya yang lambat turun. Kami juga ingin cepat. Tapi mau gimana. natijah belum turun-turun. Ya, terppaksa nunggu. Dan baru beberapa hari kemarin turun. Kalau nggak diberi kesempatan,tentu kami tidak dapat Minhah dong pak. Panjang lebar abang menjelaskan. Akhirnya ia baru mau memahami. Dan memberikan formulir ini. Tapi jangan dibilang sama anak Kairo ya. Karna ini khusus anak Zagazig." Panjang lebar bang nurman menjelaskan. Barulah rasa penasaranku sirna.

"Astaughfirullahal'azhim." Aku berteriak kaget.

"Ada apa." Tanya bang Nurman dengan kaget juga.

"Ada yang lupa, bang." Rautku kusut dan tegang.

"Apanya yang lupa." Tanya beliau penasaran

"Waktu ana ngisi formulir tadi. Tasdiq asli tidak ana berikan, yang ana berikan fotokopi keduanya." Aku khawatir dan cemas. Kalau-kalau nanti jadi masalah. Dan gagal mendapakan Minhah Baituzzakah.

"Yang benar," Tanya bang johar yang ada dekatku. Beliau juga sedikit tegang.

"O, InsyaAllah nggak apa-apa. Tapi, waktu Muqobalah nanti jangan lupa dibawa. Dan kalau ditanya yang asli, berikan." Bang nurman meredakan keteganganku.

"Emang bisa bang" aku masih belum terlalu yakin.

"InsyaAllah." Jawab beliau mantap.

Waktu terus merayap. Matahari tlah bergeser dari pusat langit. Namun walaupun demikian, panas tetap menyengat. Kami melangkah pulang dengan Metro Anfak. Berhenti di-Mubarak. bang Nurman tidak sama turun dengan kami. Beliau ada acara di-Mansurah. Kami turun lebih awal.

Kami terus jalan, Keramsis. naik qitar ke-Zagazig. Dan selesailah petualanganku ngurus Minha.

Zagazig, 14 Ramadhan 1428

27 September 2007

03.38 WZ, perempat malam yang melelahkan.

Udo Iwan

Tidak ada komentar: