Kamis, 14 Februari 2008

Istana Impian

ISTANA IMPIAN

Raja siang kembali menguasai Zagagzig, sinarnya yang terik membuat rakyat Zagazig ciut, takut dan malas keluar rumah, termasuk Aku. Ubun-ubun rasa ditusuk besi berkarat. Wajah rasa diremas-remas. Baju bak habis dibilas, buliran peluh mengalir deras. Tak bisa dibayangkan panasnya hari ini. Tak bisa dibayangkan bila tak ada lapisan Ozon yang menyelimuti bumi. Bisa hancur bumi, bisa terbakar semuanya. Lautan akan kering, baja-baja akan meleleh, tanam-tanaman akan kerontang dan bumi akan jadi lautan api. Apalagi manusia, baru merasakan panas yang beginian saja tak tahan. Belum lagi panasnya api neraka. Hi, tak bisa dibayangkan jika itu menimpa manusia.

Namun, walau panas demikian memanggang, aku tetap memaksakan diri untuk keluar dari Flat. Karna mau tak mau aku harus keluar, ada janjian sama ayah dan ibu. Bahwa hari ini, aku akan nelpon jam 19.00 waktu Indonesia.

Baru saja melangkah beberapa meter, aku langsung disambut bola api yang menyala-nyala, menjilat-jilat, 'bak kayu bakar dilalap api.' Spontan saja keringat mengucur deras dari wajah dan sekujur tubuhku, 'bak pancuran, buliran itu menetes.'

Kurogoh saku koko biru, saku celana samping dan saku celana belakang, tetap tak ada.

"Ah, ketinggalan," lirihku tak bersuara, menahan sengat sang surya yang tak belas iba.

"Kalau balik lagi, Flat paling di-sutuh. Bisa habis tenagaku daki tangga yang super tinggi, kalau Flat-nya di-Ardiyah sih tidak masalah. Tapi, ini paling puncak. Belum lagi nanti jalan dari Muhafazhoh ke-Link. huh…" Aku agak sedikit membuang napas.

Sebenarnya sih, di-Imarah banyak internet, Aa khan, bang Abi, bang Gun dan bang Joe. Tapi kebetulan semuanya lagi time out. Tak bisa diaharapkan.

"Kubeli saja diwarung ah, kebetulan banyak warung disini. Harganya pun tak seberapa, Cuma nus junaih. Dan ngirit tenaga lagi. Ide yang bagus." Gumamku dengan senyum merekah dan penuh kemenangan.

"'Ayiz mandiil wahid." Pintaku pada baba pemilik warung.

"Bikam." Sambil menyerahkan uang setengah pound.

"Nus junaih." Jawab baba. Menyerahkan tisu putih padaku.

Kuambil satu. Kuseka keringat yang terus menetes dari wajah.

****

"Wah, rame banget Link siang ini. Padahal biasanya siang-siang gini sepi. Kebanyakan pada dirumah, menikmati baling-baling angin, sambil nonton, main game atau tidur-tiduran. Dan yang lebih mengherankan, rata-rata orang Indonesia. Hanya beberapa saja orang mesir. Aku mengernyitkan dahi, lama kuberpikir, baru teringat.

"O iya, sekarangkan Agustus, sebentar lagi Ramadhan. Biasanya kalau akan akan Ramadhan, Link ramai oleh masiswa Indonesia yang menelpon kekampung, berma'afan pada sanak keluarga. Aku baru ingat. juga kemarenkan Natijah baru turun."

Aku terus masuk menuju kursi antri yang terletak agak menjorok kedalam. Dan disana sudah ada tiga orang Indonesia yang lagi antri, yang sudah tak asing lagi bagiku, bang Fathoni, Romi, dan Mubarak. Tampaknya mereka sudah lama menunggu.

"Assalamu'alaikum." Sapaku pada mereka bertiga yang lagi asyik ngobrol, kecuali Mubarak, dia lagi asyik membaca.

"Wa'alaikum salam." Jawab mereka serentak.

"Ahlan, ahlan." Bang fathoni berdiri. Aku menyalaminya.

"Sudah lama bang." Tanyaku, sambil menyalami Mubarak dan Romi.

"Lumayan." Jawabnya singkat.

"Antum juga sudah lama Rom, Bar." Sambil duduk disamping bang Fathoni.

"Baru datang juga, beberapa menit sebelum antum datang." Jawab mubarak. Membaca kembali buku yang sempat terhenti ketika aku datang. Dia memang orang yang rajin dan pintar. Kalau tidak, mana mungkin dia akan Jayyid Jiddan. Dia orang Indonesia satu-satunya kuliah Ushuluddin Zagazig, yang Jayyid Jiddan setelah bang Ul, yang sekarang lagi ngajuan judul tesis S2.

"Mau nelpon bang." Aku kembali membuka pertanyaan. "Iya, antum." Balik bertanya.

"Sama ana juga mau nelpon." Jawabku sambil melihat kesekeliling yang pada penuh semuanya. Samping kanan dan belakang. Samping kiri dekat daun pintu masuk. Diujung, dekat daun pintu balkon.

Semuanya penuh. Tak ada bangku kosong yang bisa kutumpangi mengarungi dunia maya. Bercakap dengan ayah-bunda, tak ada. Padahal aku sudah kangen sekali pada mereka, sudah tiga bulan lebih aku tidak berkomunukasi. Sebenarnya aku ingin menelpon beberapa minggu yang lalu. Tapi, lantaran Natijah lambat turun. Akhirnya aku undur sampai Natijah benar-banar turun, agar aku bisa mengabarkan pada mereka, bahwa aku Najah atau tidak. Hasil control belum terlalu membuat aku yakin. Makanya aku belum berani menghubungi mereka. Tapi alhamdulillah satu hari yang lalu Natijah sudah turun, aku Najah dengan takdir Jayyid. Tentunya mereka akan senang dan sangat bangga padaku mendengar berita ini. mereka akan berkata, 'ternyata tak sia-sia perjuanganku selama ini. Keras kerja yang kulakukan tarnyata berbuah.' Aku tersenyum sendiri memikirnya.

Tak sabar rasanya ingin segera bicara. Mengabarkan hal ini dan mendengarkan suara mereka yang penuh wibawa. Suara yang selalu menasehatiku, agar aku selau rajin belajar, berpandai-pandai dan tidak bayak bermain. Ingat jerih orang tua!, ingat lunta-lunta orang tua mencari biaya!. Jangan terlena. Jangan terpedaya. Jangan terguna oleh kesenangan pana. Kalimat yang sering beliau setir tiap kali aku menelpon, yang membuatku semangat, yang membuat mataku berkaca, bulu kudukku merinding.

Aku haru dan bangga pada ayah dan ibu. Haru karna getirnya perjuangan beliau melabuhkan aku didermaga penuh misteri ini. Bangga karna aku punya ayah dan ibu seperti mereka, yang berpantang terhadap aral penghadang. Oh , ayah dan ibu, semoga Allah membalas semua jasa-jasamu. InsyaAllah aku akan selalu ingat nasehat dan pesan-pesanmu.

Tanpa terasa aku sudah satu jam menunggu. Jam sudah menunjukkan setengah empat. Sengaja aku datang lebih awal. Biar bisa nyantai dulu, lihat-lihat berita atau baca artikel. Tapi yah…, semuanya penuh. Terpaksa deh nunggu.

Mataku terus gerayangan mencari, kalau-kalau ada tempat yang kosong. Kuperhatikan semuanya dari samping kiri dan kanan, belakang dan ujung, tak ada yang kosong. Lamaku mengamati mataku tertuju pada orang yang ada ujung, dekat balkon.

"ah, aku ada ide, tampaknya beliau lagi santai?." Beranjak dari tempat duduk. Mengangkat badan yang cekil dan kurus itu. Bang fathoni dan romi sedang asyik ngobrol, nggak tahu arah pembicaraannya, sedangkan mubarak asyik membaca dengan khusuknya, emang nggak salah kalau dia Jayyid Jiddan. Nggak dirumah, nggak dijalan, nggak dimobil, nggak diqithor, nggak diantri ijroat kuliah, nggak dimana-mana, buku selalu dibawa dan dibacanya. Pantas saja dipintar. Aku juga sekarang sedang menirunya biar bisa Jayyid Jiddan dan pintar. He…he…

"Assalamu'alaikum." Sapaku pada beliau yang lagi khusuk baca artikel Era Muslim, 'Perseteruan antara Amerika dan Iran, Prediksi dan Tuduhan Terorisme'. Dibawahnya kulihat,'Ramadhan dan Kebangkitan Umat.'

"Wa'alaikumsalam," jawab beliau agak kaget. Maklum aku tadi menyapa agak keras, takut nggak kedengaran.

"Sehat bang." Berjabat tangan dan cium pipi. Kalau di Mesir biasa yang beginian. Tapi, kalau di Indonesia aib banget. Bahkan mungkin dibilang homo lagi.

"Alhamdulillah, sehat. Antum gimana?." Beliau balik bertnya.

"Alhamdulillah, ana juga sehat." Balasku. Pada bang Darwis begitu beliau biasa dipanggil.

"Bang." Aku agak sedikit malu-malu.

"Iya, ada apa. Ada yang bisa abang Bantu." Jawab beliau ramah, yang membuatku semakin segan.

"Eh, a…anu bang." Aku agak sedikit gagap.

Kemudian aku ceritakan maksud dan tujuanku. Beliau angguk-angguk paham.

"O, ya. Tidak apa-apa. Silahkan kebetulan abang juga baru selesai nelpon. Dan sekarang lagi lihat-lihat artikel sambil nunggu Ashar. Silahkan." Sambil menyerahkan mouse dan heansed yang meletek dikepala.

"Afwan ya bang, lagi asyik-asyik baca, datang pengganggu." Kataku kembali.

"Ah, tidak apa-apa, santai aja." Lalu menatap kearah computer. Aku mengiringi tatapan beliau. Mataku beradu dengan simata satu. 'Fiqih Maqasid antara JIL dan Imam Syatiby,' Perbedaan antara Fiqih Maqasid Imam Syatiby dengan Fiqih Maqasid JIL.

Lama aku berbincang dengan ayah dan ibu. Kurang lebih satu jam. Tanpa terasa azan Asyar sayup-sayup mulai berkumandang diseantero menara masjid kota Zagazig. Dengan senyum dan hidung mekar, kuletakkan Headsed seraya men-off yahoo messenger. Bang Dar juga tampaknya sudah bersiap-siap Selesai.

"Udah bang, syukran jazakallakhairan." Ucapku pada bang Dar Yang lagi menutup website-website.

"Oh, ya sama-sama. Gimana keadaan orang tua dan keluarga, sehat semua." Tanya beliau setelah menutup semua website.

"Alhamdulillah semuanya sehat-sehat, ana juga kabarkan pada mereka. Bahwa ana najah dan sehat-sehat aja, beliau sangat senang mendengarnya, dan tak henti-hentinya berpesan agar prestasi ini dipertahankan, jangan sampai terlena, tingkatkan terus. Kesehatan juga dijaga. Ana senang sekali bang. Beliau bercerita perubahan yang terjadi dikampung. Begini. 'Dulu waktu sebelum berangkat. Ibu belum menutup aurat, sekarang sudah, dan rajin ibadah. Ayah juga begitu, yang dulu shalatnya bolong-bolong, semenjak ana kuliah di-Mesir, rajin shalat sekarang. Adek-adek yang malasnya minta ampun, sekarang dah rajin, bahkan kemaren peringkat satu. Dan kakek-nenek yang dulu merokok, sekarang dah berhenti total. Semuanya berubah sesuai harapan. Dengan demikian 'Istana impian' InsyaAllah akan segera terbangun. Pondasi sudah, tinggal pelaksanaan saja.' InsyaAllah bang, ana akan sering-sering nelpon mereka, ngasih semangat mereka, seperti bulan-bulan lalu, sebelum Natijah turun."

"Bang kali ini biar ana yang bayar ya…! Rengekku pada bang Darwis. Agar beliau tidak menolak.

"Syukron, syukron nggak usah, biar abang aja." Menahan tanganku yang terulur.

"Pleas bang, kali ini… aja. Ana lagi senang. Jadi, ana mau bagi kesenangan." Aku terus mamaksa dan memaksa, sambil terus mengulurkan tangan. Akhirnya beliau luluh dan membiarkanku.

Bang Fahoni, mubarak dan Romi sudah tak tampak disana, mungkin mereka sudah pulang duluan.

Hampa tanpa rasa, gulita tanpa warna, malam sepi, malam sunyi. Dengingan nyamuk berirama, memberi makna malam nan hampa.

Zagazig, 28 Agustus 2007.

00.00 WZ


Udo Iwan

Tidak ada komentar: