Kamis, 14 Februari 2008

petualangan ke Isma'iliyah

PERJALANAN YANG MENYENANGKAN

-------------------------------------------------------------------

Dipagi yang indah, selimut hitam menyelimuti kota Zagazik, Raja siang masih terlelap, udara segar tanpa ternoda!, kami berjalan perlahan diantara gang Salam yang masih sepi dari penghuni penuh harap agar hujan tak turun.

MahaththahMahaththah…” sayup-sayup terdengar dari kejauhan suara knek mobil memanggil.

Yallah…yallah…” kami naik dengan wajah berseri-seri dan bahagia. Jalan-jalan man…!. Mobil melaju dengan cepat meninggalkan as-Salam. Jalan demi jalan, tikungan demi tikungan dialui dengan aman, tanpa terasa kamipun telah sampai di Mahaththah.

Tak seperti biasa kali ini Mahaththah sunyi, mungkin karna masih pagi? Orang mesirkan suka tidur ba’da Shubuh, paling-paling bangun jam sembilan atau jam sepuluhan, aktifitasnyakan jam segitu. “Mesir…mesir…?,” gumamku.

Kami terus melangkah penuh energig, bahan bakar tlah penuh, tapi saya kelebihan bahar bakar akibatnya Over, perut mules angin keluar terus, bocor kali ya tengnya…?, tapi hanya beberapa menit, kemudian hilang.

“ Luar biasa,” teriakku takjub memandangi Mahaththah yang luas, rel-rel berserakan dipenuhi Kereta-kereta, warung-warung kecil turut meramaikan, membuat Mahaththah tambah cantik dan asri.

Eh, Apaan tuh yang lagi termenung…? O, rupanya Kereta yang masih terbuai mimpi, kasihan, sepertinya capek banget, kerja siang malam membanting tulang, tak pandang panas tak pandang hujan, wajahnya pucat karna kurang istirahat. Akibatnya seluruh kulit melepuh. Kasihan…! Seluruh kakinya tampak layu tak mendayu tapi tak mengaduh. Jadi ingat ayah dan ibu nih…! Orang yang berjuang penuh semangat dan melabuhkanku di Negri penuh misteri ini, negri penuh tanda tanya.

Kami trus mengayuh langkah sambil menari-nari memainkan kaki diatas rel menuju Kereta jurusan Isma’iliyah yang berbaris menunggu penumpang disudut Mahaththah.

Tut…tut…! Terdengar suara rebut-ribut, teriak-teriak dengan keras, membuat kami terkejut. Rupanya suara kereta yang sudah pada bangun. Walaupun masih ada satu-satu yang masih ngorok “he…he…! emangnya manusia…! pake ngorok segala!.

“Ayo cepetan, Keretanya mau berangkat”. Teriak bang Rois.

“Yang lain mana”. Sambungnya agak gusar, menghampiriku.

Ada, dibelakang”. Jawabku padat.

Lima puluh kilo meter perjam kukayuh pedal Jazz yang kupinjam tadi, menembus barisan Kereta yang berjejer-jejer. Kubungkukkan badan sambil tengadah, biar nggak nyantol diperut Kereta yang kasar karna olah raga pagi sore.

Namun dasar sial, “gdubrak…”, kakiku kesandung rel.

“Adu…h,” rintihku memegang lutut yang beradu kayu. Tapi untung aja nggak luka. Dasar orang Indonesia banyak untungnya.

Tanpa terasa Kami semua sekarang telah berada dalam kereta Clas Ekonomi yang compang-camping, maklum…! kamikan orang miskin jadi naiknya cari yang sepadan, sama-sama miskin gitu. Eh, tapi tunggu dulu..! meskipun Keretanya compang camping, nggak kalah saing sama si Ekslusive. Ful AC, Ful Musik dan Ful ‘Isy To’miah, he…he...! Taukan Ful AC…? Ya betul..! AC alami bikin sesak. Pernah tuh… waktu aku ke Kairo naik Kereta yang beginian, pas nyampek, tau-taunya rambut beruban, muka berbedak, baju kayak diwantek, mana baju yang dikenakan hitam lagi, pas turun jadi kuning.

Tau nggak maksud Ful Music…? Salah…! Maksudnya Ful Music Ful suara Simesir yang gedek kaya gledek, teriak-teriak ditambah gendang pintu dibanting, bikin jantungan. Disitu letak kalahnya Class Ekonomi, gendangnya gendang Dangdut lagunya lagu Rock ya nggak nyambung atuh…!. Ah, jadi malu nih…!. Tapi pede man.

Kalau Isy To’miah ya itu…yang biasa dimakan orang Mesir. Mau jualan pak banyak banget bawa isynya. Ha…ha…

Kereta terus melaju melewati rel setapak, meninggalkan Zagazig menuju Isma’iliyah. Kira-kira Isma’iliyah seperti apa ya…? Baru pertama kalinya nih…! Bagus nggak sih…? Atau jangan-jangan kayak…?ah, jadi ngantuk mikirinnya.

Zzzttt…” bunyi apa tuh kayak mesin Jet.

ha…ha…bang Deni ama bang Rois lagi ngorok, kasihan tuh Simesir nggak nyaman. Perlahan, samar-samar kulihat orang-orang disekeliling, lama-lama jadi kabur dan

Zzzttt…” ikut ngorok.

*****

Wow…Luar biasa…! tak seperti bayanganku! ternyata Isma’iliyah negri yang apik, bangunannya rapi dan bersih, nggak kayak Zagazig sampah berserakan dimana-mana, bikin kepala puyeng. Taman hijau terhampar luas, angin berhembus menyapu dedaunan kering, pepohonan menari-nari mengalahkan goyangannya inul dan uut, liuk-liuk, bungkuk-bungkuk nggak ambruk. Burung-burung terbang oleng-oleng ditampar angin yang lagi marah. Riak-riak air menciptakan gelombang yang menderu-deru saling kejar-kejaran tuk menerjang karang pinggiran pantai.

Kuhempaskan badan yang mungil itu kesebuah tanggul pinggir jalan tak jauh dari bibir pantai sambil menerima pambagian Isy dari bang Zenal dan bang Fatkholis orang yang selau sibuk sana-sini selama jalan-jalan kami.

Kurasakan seluruh persendian pada nyeri, terlebih baut kaki, kalau tidak kukunci mungkin pada lari. Dengan kaki diselonjor, badan ditegak, mulut disuap, kuhantam isy malang tuk gelang-gelang yang terus menabuh genderang, benar-benar laper nih…!. Maklum habis olahraga. Hal yang sama juga dirasakan abang-abang dan teman-teman, apalagi yang gedek-gedek badan lebih parah lagi, kalau tidak pandai ngatur nafas mungkin udah duluan…? duluan ngabisin isy maksudnya…! Bak pesawat Supersonic terbang Isy diterjang. Apa nggak bisa keselek tuh. Kasihan tuh Isynya…!.

Tak jauh dari tepat kami duduk bang Deni datang membawa air dengan nafas tersenggal-senggal raut wajah kusut mendekat menghampiri kami yang lagi duduk-duduk.

“Zen, antum liat kamera ana nggak?.” Bang deni bertanya pada bang Zenal masih dengan nafas tersenggal-senggal sambil meletkkan air ketanah.

“Tadikan sama antum?.” Jawab bang zenal dengan nada bertanya.

“Iya, tadi sih sama ana, tapi pas beli air nggak ada, mungkin tinggal kali pikir ana, makanya ana nanya sama antum.” bang Deni menjelaskan dengan nada penuh kekhawatiran. Maklum kameranyakan kamera mahal, beli disaudi pas musim haji dua tahun yang lalu. Jadi wajarkan khawatir.

“Tapi ana nggak liat, mungkin diantara teman-teman ada yang liat kali.” Sambung bang Zenal.

Setelah ditanya semuanya geleng-geleng, termasuk aku. Tapi baru saja akan melanjutkan duduk tiba-tiba aku teringat pada anak kecil berbaju merah kumal, mengenakan celana jeans, lengkap dengan sepatu putih bolong-bolong pada setiap sisinya. Membawa sesuatu berwarna hitam, langkahnya keburu-buru gitu.

“Apa dibungkus kotak hitam bang?.”aku coba angkat bicara.

“Iya, antum lihat wan.” bang Deni menghampiriku.

Lalu kuceritakan semuanya pada bang Deni, lengkap dengan ciri-ciri anak tersebut.

“Yang benar Wan” bang Deni kaget dan agak kurang percaya.

“Iya bang, pas pergi buang air tadi, ana berpas-pasan dengan dia, ana hanya lihat sekilas dan nggak terlalu ambil pusing, habis kebelet sih!”

“Apa mungkin dia?.” Bang Deni ngomong sendiri.

“Emangnya ada apa bang?” tanyaku agak sedikit penasaran.

“Gini…, pas abang pergi beli air juga ketemu sama orang yang antum ceritakan, karna jalan yang kurang hati-hati lihat sana-sini, dan diapun jalannya kencang, akhirnya abang tabrakan.” bang Deni menjelaskan dengan singkat padat, mungkin di yang ngambil kali ya?.” Tanyanya padaku.

“Nggak tau bang!,” sambil mengangkat bahu,

“Bagaimana kalau kita lapor mabahis aja?.” Usulku pada bang Deni.

“Iya, ide yang bagus.” Sahut bang Zenal yang sejak tadi jadi pendengar setia kami.

Kebetulan kantor mabahis terletak tidak begitu jauh dari tempat kami melepas lelah setelah main bola, hanya berjalan beberapa menit saja kami telah sampai didaun pintu kantor jaga.

Assalamu’alaikum.” Kami memberi salam pada Mabahis yang lagi baca koran.

Wa’alaikum salam!.” jawab Mabahis tersebut ramah.

“Silahkan masuk!.” sambungnya.

“ada yang bisa saya bantu.”Sambil melipat koran yang belum selesai dibaca.

Akhirnya bang Deni menceritakan panjang lebar hal ihwal perihalnya. Mabahis tersebut angguk-angguk, tanda paham apa yang diceritakan bang Deni. Lalu nampak ia mengeluarkan sesuatu dari dalam laci;

“Apa ini benda yang kalian cari?.” Sambil mengangkat benda hitam itu dan menyodorkannya pada bang Deni.

Setelah diteliti, “Benar Pak, ini yang kami cari.” Bang Deni menyahut dengan hidung mekar dan senyum mengembang, ciri khasnya tatkala lagi senang.

“Terima kasih ya Pak!.” Sambil memasukkan kamera Digital kedalam kotaknya kembali.

“Kalau kami boleh tau, gimana ceritanya bapak sampai menemukan benda ini?,” bang Deni bertanya penasaran.

“Jadi begini!.” Pak Mabahis mulai menjelaskan;

“Pas saya lagi duduk-duduk baca koran, tiba-tiba ada anak kecil berpakain seperti yang kalian sebutkan datang menghampiri dan memberikan benda ini. Ini punya siapa Tanya saya pada dia, akhirnya ia menceritakan kalau benda ini dia temukan ditaman dekat mesjid. Waktu itu ia bertabrakan dengan orang Indonesia yang kurang liat-liat, dan setelah orang itu pergi ia melihat benda hitam ini tertinggal, pas mau memberikan pada orang tersebut tapi tak dilihatnya lagi, dan dia sudah berusaha mencari, tapi tidak ketemu, karena keburu-buru mau pulang ngantarin obat untuk ibunya yang lagi sakit, akhirnya ia berikan pada saya. Jadi gitu ceritanya.” Pak Mabahis menjelaskan sambil menggeser duduk.

Kami semua terharu mendengarnya. Mana kami telah berburuk sangka lagi!.

“Makanya lain kali hati-hati membawa barang. Untung anak yang nemuin jujur, coba kalau nggak?, mungkin tidak kembali lagi.”

Kami hanya angguk-angguk paham. Malu juga sih, dinasehatin pak Mabahis, bukan malu karna isi nasihatnya tapi malu karna kecerobahan.

“Lain kali kami akan hati-hati, terima kasih yang banyak ya pak dan tolong sampaikan juga sama anak yang telah menemukan, ungkapan terima kasih kami sedalam-dalamnya, semoga ibunya cepat sembuh.” Bang Deni yang ngomong lho ana ama bang zenal diam aja, jadi Supporter.

“Alhamdulillah akhirnya ketemu ya bang.” Kataku pada bang Deni, sambil berlalu meniggalkan kantor pak Mabahis yang baik hati semoga rizkinya terus bertambah dan jadi orang kaya baik hati. Amiin.

“Iya, alhamdulillah , ternyata kita bertanya pada orang yang tepat.” Jawab bang deni singkat.

Waktu trus berlalu begitu cepat tanpa terasa kami tlah setengah harian penuh di Ism’iliyah dan harus berpisah.

“Ayo cepat keretanya sebentar lagi mau beangkat.” Bang Rois kembali memberi aba-aba seperti akan berangkat tadi pagi.

Kali ini seratus dua puluh kilo meter perjam kukayuh kaki yang penuh energi.

“Eh, salah bukan kesana, kesini.” Teriakku pada teman yang ngambil arah berlawanan dengan arah kereta menuju Zagazig.” Merekapun membalikkan badan kearahku.

“Ayo lebih cepat lagi.” Teriak Tedi dari dalam Kereta yang mulai berjalan perlahan.

“Ah, hampir saja. Terlambat satu menit…? tinggal deh di Isma’iliyah.” Gumamku, sambil ngelap keringat yang bercucuran.

Selamat tinggal Isma’iliyah yang indah lain waktu kita bertemu lagi, kami tidak akan melupakan keelokanmu. Daa……………aa!.

Nama : Irwan Doni el-Abawy

Kuliah : al-Azhar, Fakultas Ushuluddin wa ad-Da’wah. Tingkat I, Zagazig.

Tidak ada komentar: